HUT ke-42 BM 400 Jamil Azzaini Ajak Scale Up

HUT ke-42 BM 400: Jamil Azzaini Ajak Scale Up dengan “AJAIB”

Jakarta — Suasana Auditorium Sekolah Bakti Mulya 400 pada peringatan hari jadi ke-42 tampak berbeda. Riuh tepuk tangan para guru, karyawan, dan undangan pecah ketika Jamil Azzaini—motivator yang dikenal sebagai inspiring speaker—naik ke panggung. Dengan gaya tutur yang renyah dan penuh energi, ia mengajak seluruh civitas BM 400 untuk “scale up”, naik kelas dalam mengelola potensi diri dan kontribusi sosial (Selasa, 30/9/2025).

“Ada lima level dalam memanfaatkan potensi diri manusia,” ujarnya membuka. Materi itu, ia sebut sebagai jalan menuju kualitas hidup yang lebih tinggi.

Lima Level Potensi Diri

Pertama, level obscurity. Pada tahap ini, seseorang hidup tanpa arah, tanpa tahu kelebihan dirinya. Jamil mengutip Buya Hamka: “Kalau hidup sekadar hidup, kera di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kerbau juga bekerja.” Sebuah pengingat tajam bahwa hidup tak boleh sekadar rutinitas tanpa makna.

Kedua, level personality. Seseorang mulai mengenali kelebihan dan kekurangannya. Kesadaran ini adalah fondasi untuk bertumbuh.

Ketiga, level mentality. Potensi yang dimiliki dioptimalkan hingga menjelma menjadi keahlian. Pada titik ini, seseorang bukan sekadar tahu dirinya bisa, tapi benar-benar menjadi ahli dalam bidang tertentu.

Keempat, level morality. Fase ketika individu tak lagi sibuk dengan dirinya sendiri. Ia memikirkan kemajuan bersama, membangun rasa “kita”, dan menumbuhkan kepedulian sosial.

Kelima, puncak dari semua level: level spirituality. Pada tahap ini, apapun yang dilakukan semata-mata untuk Allah, tanpa haus pujian atau pengakuan manusia.

Rumus AJAIB

Namun, bagaimana cara naik kelas—terutama dari morality menuju spirituality? Jamil memperkenalkan sebuah formula yang ia sebut “AJAIB”, sebuah akronim yang sarat nilai hidup.

Pertama, Ampuni yang Menyakiti.
“Maaf bukan berarti membenarkan kesalahan,” kata Jamil, “tetapi membebaskan diri dari jeratan luka.” Menurutnya, ada lima penyebab penderitaan: menyesali masa lalu, mengkhawatirkan masa depan, tidak menerima kondisi saat ini, menggantungkan kebahagiaan pada omongan orang lain, dan enggan memaafkan kesalahan orang lain.

Kedua, Jadikan Syukur terhadap Segala Sesuatu.
Jamil menekankan bahwa hanya dua emosi yang seharusnya dipelihara: cinta dan syukur. Bahkan, ia menegaskan profesi guru pun harus dijalani dengan cinta. Ia juga mengingatkan tiga C yang wajib dimiliki setiap insan: competence (kompetensi), reputation (nama baik), dan relation (hubungan harmonis).

Ketiga, Amalkan Kebaikan Selalu.
Tak ada kebaikan yang terlalu kecil. Setiap langkah sederhana—menolong, atau berbagi ilmu—membuka jalan bagi kebaikan yang lebih besar. “Jurnal semua kebaikanmu,” ucapnya, “agar jiwamu semakin kokoh.”

Keempat, Injeksikan Kebahagiaan.
“Amalan yang dicintai Allah adalah yang membangkitkan kebahagiaan,” jelasnya. Ia mengajak hadirin untuk menyebarkan senyum, membantu sesama, dan mengubah masalah menjadi solusi. Dari passion, setiap orang bisa melahirkan kontribusi yang bermakna.

Kelima, Berserah Total kepada Allah.
Di sinilah letak keajaiban. Ketika seseorang berserah, ia tak hanya mengandalkan energi insaniah, tetapi juga energi ilahiah. Jamil mencontohkan kisah Nabi Musa yang dengan izin Allah mampu membelah Laut Merah.

Pesan untuk BM 400

Ceramah motivasi Jamil Azzaini bukan sekadar retorika. Ia meresap ke dalam atmosfer HUT BM 400 yang tahun ini mengusung semangat pembaruan. Selama 42 tahun, sekolah ini berdiri sebagai lembaga pendidikan yang memadukan nilai nasionalisme, religiusitas, dan keterbukaan terhadap dunia.

Dalam konteks pendidikan, rumus “AJAIB” bisa menjadi pedoman guru dan siswa. Mengajarkan anak untuk memaafkan, bersyukur, berbuat baik, menebar kebahagiaan, dan berserah diri. Nilai-nilai itu sejalan dengan visi BM 400 yang tak hanya mendidik untuk pintar, tapi juga berkarakter dan beriman.

Baca juga : Siswa Kelas 5 BM 400 Cibubur Gabungkan Aksi Beramal dan Kreativitas

Peringatan HUT bukan hanya seremonial. Jamil menutup dengan ajakan reflektif: “Kalau kita ingin naik kelas, jangan berhenti di moralitas. Dorong diri kita untuk sampai ke spiritualitas. Di sanalah letak ketenangan hidup yang sesungguhnya.”

Dengan pesan itu, perayaan 42 tahun BM 400 menjadi bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan momentum untuk menatap masa depan. Sebuah perjalanan panjang yang kini ditopang oleh semangat scale up dengan rumus “AJAIB”—ampuni, syukur, amalkan, injeksikan, dan berserah.

Siswa Kelas 5 BM 400 Cibubur Gabungkan Aksi Beramal dan Kreativitas

Siswa Kelas 5 BM 400 Cibubur Gabungkan Aksi Beramal dan Kreativitas

Cibubur – Suasana di Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur terasa berbeda pekan lalu. Aula sekolah penuh dengan karya seni buatan siswa, alunan musik tradisional, dan riuh tepuk tangan penonton. Namun, yang membuat peristiwa itu istimewa bukan sekadar pertunjukan. Para siswa kelas 5 sedang menunjukkan bagaimana ilmu yang mereka pelajari dapat menjelma menjadi kepedulian nyata: sebuah aksi amal untuk masyarakat sekitar.

Program ini merupakan puncak dari Unit of Inquiry (UOI) pertama dengan tema lintas disiplin “Who We Are”. Selama tujuh minggu, anak-anak itu menelusuri gagasan sentral bahwa sistem kepercayaan dan nilai memberi penjelasan tentang makna kehidupan manusia dan dunia sekelilingnya.

“Pembelajaran di PYP (Primary Years Programme) selalu berbasis inkuiri. Anak-anak tidak sekadar menerima teori, tapi diajak bertanya, meneliti, lalu menghubungkan ilmu dengan konteks nyata,” ujar Yulia Pratiwi, M.Pd., Koordinator Kesiswaan dan Kehumasan PYP Bakti Mulya 400 Cibubur, saat ditemui seusai acara (Jumat, 26/9/2025).

Menyelami Nilai dan Tokoh Dunia Islam

Dalam proses belajar, para siswa mempelajari beragam agama di dunia. Mereka bergiliran mempresentasikan temuan kepada kelas lain, menumbuhkan sikap terbuka dan rasa saling menghormati. Fokus khusus diberikan pada kontribusi tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Khwarizmi, hingga Salahuddin Al Ayubi.

“Anak-anak belajar bahwa ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan bisa berjalan seiring. Dari Ibnu Sina, misalnya, mereka memahami pentingnya ilmu kedokteran. Dari Salahuddin, mereka mengenal nilai kepemimpinan yang adil dan penuh empati,” kata Yulia.

Pembahasan berlanjut pada nilai-nilai Islam yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti sedekah dan infak. Diskusi di kelas kemudian berkembang menjadi pertanyaan praktis: bagaimana anak-anak bisa mempraktikkan nilai itu dalam lingkungannya sendiri?

Belajar di Mushola, Menggali Kebutuhan Riil

Alih-alih hanya berhenti pada diskusi, siswa kelas 5 turun langsung ke lapangan. Mereka mendatangi Mushola Nur Baitul Iman di Cipenjo. Di sana, mereka melakukan survei dan wawancara dengan pengurus, termasuk Ustad Yamin, untuk memahami kebutuhan jamaah.

Hasilnya, anak-anak menemukan bahwa mushola membutuhkan perlengkapan kebersihan serta tambahan peralatan ibadah. “Kegiatan ini membuat siswa belajar bahwa empati bukan sekadar kata, melainkan aksi yang bisa dirasakan orang lain,” ujar Yulia.

Kreativitas Jadi Sarana Amal

Setelah mengantongi data, siswa merancang acara amal di sekolah. Mereka menyiapkan pameran karya seni dan pertunjukan tari tradisional. Tak hanya itu, komunikasi dengan komunitas sekolah—orang tua, guru, hingga staf—dilakukan dengan penuh antusiasme agar dukungan terkumpul.

Hasilnya mengejutkan. Dari kegiatan tersebut, terkumpul dana sebesar Rp2,4 juta. Dana itu dibelikan perlengkapan kebersihan, alat salat, serta Rp2,08 juta dalam bentuk tunai yang langsung diserahkan kepada pengurus mushola.

“Saya bangga sekali, karena inisiatif ini murni datang dari siswa. Kami guru hanya mendampingi. Mereka belajar merencanakan, mengeksekusi, hingga mempertanggungjawabkan hasilnya,” kata Yulia.

Membentuk Kepemimpinan Sejak Dini

Lebih dari sekadar menggalang dana, kegiatan itu melatih anak-anak berorganisasi. Mereka harus membagi peran, ada yang menjadi penanggung jawab pameran, ada pula yang mengurus promosi acara.

Nilai yang lebih besar, menurut Yulia, adalah pembentukan karakter. “Anak-anak belajar mengambil keputusan bersama, berani berbicara di depan publik, sekaligus mengasah kepekaan sosial. Itulah yang kami sebut student agency dalam kurikulum IB,” ujarnya.

Menyemai Warga Dunia yang Peduli

Program PYP di BM 400 Cibubur memang dirancang untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi. Semua itu terintegrasi dalam apa yang disebut Approaches to Learning (ATL).

Dengan begitu, hasil belajar tidak berhenti pada kognitif, tapi juga sikap dan tindakan. “Kami ingin siswa bukan hanya cerdas secara akademis, tapi juga peduli, reflektif, dan berprinsip,” tutur Yulia.

Baca juga : Di Depan Civitas BM 400, Said Didu Ingatkan Integritas, Kapasitas, dan Keberanian

Semangat itulah yang dirasakan oleh para siswa ketika membawa hasil donasi ke Mushola Nur Baitul Iman. Beberapa dari mereka bahkan mengaku baru pertama kali merasakan pengalaman langsung memberikan bantuan. “Mereka belajar bahwa memberi itu membahagiakan, bukan hanya bagi penerima, tapi juga pemberi,” kata Yulia.

Komitmen Jangka Panjang

Yulia menegaskan, kegiatan ini bukan sekadar proyek sesaat. Sekolah ingin membangun tradisi, agar setiap unit pembelajaran selalu memberi ruang bagi siswa untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

“Kami percaya, menjadi warga dunia itu dimulai dari lingkungan terdekat. Kalau anak-anak sudah terbiasa peka dan peduli sejak kecil, kelak mereka bisa tumbuh sebagai pemimpin yang berintegritas dan berdampak luas,” katanya.

Belajar Hidup, Bukan Sekadar Pelajaran

Pengalaman kelas 5 BM 400 Cibubur ini menunjukkan bagaimana sebuah sekolah dapat menjembatani ilmu dan kehidupan. Anak-anak bukan hanya menghafal nama tokoh atau konsep nilai, melainkan menapaki proses yang membuat mereka berpikir, merasa, lalu bertindak.

Seperti yang ditutup Yulia dengan senyum, “Inilah esensi PYP: pembelajaran yang hidup, bermakna, dan bermanfaat bagi sesama.”

Di Depan Civitas BM 400, Said Didu Ingatkan Integritas, Kapasitas, dan Keberanian-5

Di Depan Civitas BM 400, Said Didu Ingatkan Integritas, Kapasitas, dan Keberanian

Cibubur – Perpustakaan Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur siang itu tampak lebih ramai dari biasanya. Puluhan pasang mata—para guru, pimpinan sekolah, hingga tenaga kependidikan—tertib memenuhi kursi-kursi yang ditata rapi. Hari Rabu, 17 September 2025, sekolah yang dikenal dengan semangat nasionalisme, religiusitas, dan internasionalisme itu menggelar sebuah diskusi dengan narasumber yang bukan orang sembarangan: Dr. Muhammad Said Didu atau dikenal Said Didu, mantan pejabat eselon satu Kementerian BUMN, aktivis senior, dan akademisi yang selama ini dikenal lantang menyuarakan integritas dalam ruang publik.

Tema diskusi yang digelar Yayasan Bakti Mulya 400 terdengar tak biasa: “Merawat Adrenalin Para Aktivis.” Sebuah frasa yang bergaung seakan mengingatkan bahwa sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu, tetapi arena menyalakan nyali, menyemai kejujuran, dan menumbuhkan keberanian.

Optimisme dari Panggung Pembuka

Acara dibuka oleh Dr. Sutrisno Muslimin, M.Sc., Ketua Pelaksana Harian BM 400. Dengan suara semangat penuh aksentuasi, ia menegaskan pentingnya menumbuhkan optimisme. “Setiap peluang yang ada gunakan dengan semaksimal mungkin sesuai kapasitas kita,” katanya, mengajak seluruh civitas untuk tidak terjebak dalam pesimisme zaman.

Optimisme, menurut Sutrisno, adalah fondasi: tanpa itu, kapasitas hanya tinggal potensi, dan keberanian hanyalah keberisikan.

Pesan Tegas: Jangan Jadi Cendekiawan Kanebo

Ketika mikrofon berpindah ke tangan Said Didu, suasana ruangan berubah. Ia membuka dengan tiga kata kunci yang ia sebut sebagai pilar utama pendidikan: integritas, kapasitas, dan keberanian.

“Anak-anak kita harus diajari berani jujur, berani berpendapat, dan berani bertanggung jawab,” ujarnya, menekankan kata berani tiga kali, seakan ingin menanamkannya ke benak para guru yang hadir.

Said lalu melempar istilah satir yang langsung mencuri perhatian: cendekiawan kanebo. “Apa itu?” tanyanya retoris. “Itu cendekiawan yang menghapus kesalahan untuk menyenangkan penguasa. Mereka kering, hanya bisa menyerap perintah, bukan menyuarakan kebenaran.”

Tawa kecil terdengar, tapi segera berubah menjadi hening penuh makna. Pesan itu menusuk: jangan sampai pendidikan melahirkan generasi yang pintar, namun kehilangan nyali.

Melawan Kebohongan Sejak Dini

Pilar kedua yang ditegaskan Said adalah kejujuran. Ia menyebut kebohongan sebagai “virus sosial” yang berbahaya. “Latih siswa untuk menyuarakan kejujuran. Luruskan apabila berbohong. Jangan beri celah kebohongan merajalela,” katanya.

Menurutnya, kebohongan kecil di ruang kelas bisa jadi bibit kebiasaan yang terbawa ke ruang publik. Jika dibiarkan, bangsa ini akan terbiasa dengan kepalsuan. “Di titik itulah pendidikan punya peran vital: membasmi virus kebohongan sebelum menular.”

Memberi Jalan bagi yang Pintar dan Bermoral

Said juga menyinggung soal kepemimpinan. Dalam pandangannya, bangsa ini sering salah kaprah: orang pintar dan bermoral sering tersingkir, sementara yang hanya pandai berpolitik justru diberi jalan.

Baca juga : Baru Dibuka PMB Sekolah BM 400 Cibubur, Kuota Tinggal 40-an Persen

“Hargai orang pintar dan bermoral, beri kesempatan mereka memimpin,” ujarnya, menekankan bahwa pendidikan tidak cukup melahirkan kecerdasan kognitif. Ia harus melahirkan integritas moral.

Pentingnya Menguasai Engineering

Bagian lain yang mencuri perhatian adalah ketika Said berbicara tentang kekayaan alam Indonesia. Ia menyoroti perlunya generasi baru yang menguasai ilmu teknik, khususnya engineering economics.

“Kalau sumber daya kita hanya dikelola oleh orang pintar teori, hasilnya habis jadi barang konsumtif tanpa nilai tambah,” ujarnya. Ia menyebut bahwa hanya bangsa yang menguasai ilmu teknik dan ekonomi terapan yang bisa memanfaatkan kekayaan alam menjadi kesejahteraan jangka panjang.

Indonesia, kata Said, kaya raya. Tapi tanpa pengelolaan yang cerdas dan berintegritas, kekayaan itu hanya akan menguap, meninggalkan jejak konsumsi, bukan kemajuan.

BM 400 dan DNA Aktivisme

Diskusi dengan Said Didu tak datang dari ruang hampa. Sejak awal berdirinya, Sekolah Bakti Mulya 400 memang punya akar kuat dalam dunia aktivisme. Lahir dari semangat Yayasan Keluarga 400—organisasi eks Tentara Pelajar Batalyon 400 Brigade XVII TNI—sekolah ini bukan hanya tempat belajar formal, tetapi kawah candradimuka pembentukan karakter.

DNA itu kembali ditegaskan siang itu: aktivisme bukan berarti turun ke jalan, tapi berani bersuara, teguh memegang kebenaran, dan konsisten memperjuangkan nilai moral.

Baru Dibuka PMB Sekolah BM 400 Cibubur, Kuota Tinggal 40-an Persen

Baru Dibuka PMB Sekolah BM 400 Cibubur, Kuota Tinggal 40-an Persen

Cibubur — Senin, 15 September 2025. Di tengah maraknya dunia pendidikan, Sekolah Bakti Mulya 400 (BM400) Cibubur kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu lembaga pilihan di kawasan timur Jakarta. Senin, 15 September 2025, sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Bakti Mulya 400 ini resmi membuka Penerimaan Murid Baru (PMB) Tahun Pelajaran 2026/2027.

“Target penerimaan siswa tahun ini mencapai 300 kursi. Namun, uniknya, lebih dari separuh kuota sudah terisi bahkan sebelum pintu resmi pendaftaran dibuka”, demikian penjelasan Nur El Ikhsan, BBM. MAMS, MBA., Head of Marketing Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur. “Data internal mencatat, 160 calon siswa telah melakukan booking seat atau masuk daftar tunggu sejak tahun lalu. Artinya, hanya tersisa 140 kursi, atau sekitar 46 persen dari total kapasitas”, sambungnya.

Antrean yang Panjang, Minat yang Tinggi

Bukan hal baru bagi Bakti Mulya 400. Setiap kali musim penerimaan murid baru tiba, sekolah ini kerap diserbu pendaftar. Bagi sebagian orang tua, mendapatkan kursi di sekolah ini tak ubahnya seperti mengamankan tiket masuk universitas bergengsi.

Sejak berdirinya, sekolah ini mengusung bertujuan membangun generasi yang berakhlak, cerdas, cinta tanah air, dan mampu bersaing secara global. Dengan kurikulum International Baccalaureate (IB) dan Cambridge yang memadukan nilai kebangsaan, religiusitas, dan perspektif internasional, BM400 Cibubur berusaha menjawab tantangan zaman yang kian kompleks.

Mengapa Kuota Cepat Penuh?

Menurut Hadi Suwarno, M.Pd., Deputy Ketua Pelaksana Harian (KPH) BM 400, ada beberapa faktor yang membuat kuota cepat terisi. Pertama, rekam jejak akademik dan non-akademik. Sekolah ini dikenal konsisten mengirimkan siswa-siswinya menorehkan prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kedua, lingkungan belajar yang humanis dan berorientasi pada perkembangan karakter. Pendidikan di BM400 tidak semata menekankan capaian nilai ujian, tetapi juga bagaimana peserta didik tumbuh sebagai individu yang berintegritas.

Ketiga, lokasi strategis di kawasan Cibubur-Cileungsi. Kawasan ini berkembang pesat sebagai hunian keluarga muda kelas menengah yang menuntut kualitas pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka. Kehadiran BM400 di sini menjawab kebutuhan itu.

Timeline Pendaftaran

PMB tahun pelajaran 2026/2027 resmi dibuka Senin, 15 September 2025 dan akan berlangsung hingga Jumat, 3 Oktober 2025. Pendaftaran dapat dilakukan secara daring melalui laman resmi sekolah di https://admission.baktimulya400cibubur.sch.id/.

Adapun tahapan seleksi meliputi:

  1. Administrasi: verifikasi dokumen dasar calon siswa.
  2. Tes akademik dan psikotes (untuk calon murid SMP dan SMA): menilai kesiapan intelektual dan emosional siswa.
  3. Wawancara orang tua dan siswa: menggali kesesuaian visi-misi keluarga dengan nilai yang dianut sekolah.
  4. Observasi kepribadian anak (untuk calon murid TK dan SD): memastikan anak siap beradaptasi dengan lingkungan belajar yang baru.

Dengan sisa kuota hanya 140 kursi, pihak sekolah menganjurkan orang tua segera mendaftarkan anaknya agar tidak kehilangan kesempatan.

Merajut Pemahaman Orang Tua Lewat Inquiry

BM 400 Cibubur: Merajut Pemahaman Orang Tua Lewat Inquiry

Liputan dari Parents’ Workshop “Understanding the PYP: How Your Child Learns through Inquiry”

Sabtu pagi itu, 23 Agustus 2025, halaman sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur dipenuhi suasana berbeda dari biasanya. Alih-alih suara riang anak-anak yang berlarian menuju kelas, kali ini kursi-kursi di library tersusun rapi menanti kehadiran tamu istimewa: para orang tua siswa TK dan SD. Sejak pukul delapan, mereka berdatangan, sebagian masih menggandeng tangan anaknya, sebagian lain datang berpasangan, membawa rasa penasaran yang akan segera terjawab: bagaimana sebenarnya anak-anak mereka belajar melalui pendekatan inquiry dalam kurikulum Primary Years Programme (PYP) dari International Baccalaureate (IB).

Acara bertajuk “Understanding the PYP: How Your Child Learns through Inquiry” itu bukan sekadar pertemuan formal. Ia adalah jembatan. Sebuah upaya sekolah untuk merajut pemahaman antara guru, orang tua, dan filosofi pendidikan yang kini semakin banyak dipilih sekolah-sekolah progresif di seluruh dunia. Di sinilah Bakti Mulya 400 Cibubur menegaskan posisinya menjadi sekolah tempat ruang tumbuh yang menyatukan visi keluarga dan pendidikan abad ke-21.

Mengurai Filosofi Inquiry

Begitu acara dimulai, suasana aula segera hidup. Di layar besar, ditampilkan video singkat tentang kegiatan siswa: anak-anak yang tengah menanam biji, mengukur pertumbuhan, mendiskusikan hasilnya, hingga mempresentasikan temuannya. Narasi video menegaskan: “Belajar bukan sekadar menerima, melainkan mencari tahu.”

Slamet Suwanto, PYP Coordinator BM400 Cibubur, mengambil alih panggung. Dengan gaya tutur yang tenang namun penuh energi, ia menjelaskan:

“Dalam PYP, kami mendorong anak-anak untuk aktif bertanya, bereksperimen, dan menghubungkan ide-ide dari berbagai disiplin ilmu. Melalui unit inquiry yang terstruktur, siswa tidak hanya memahami konten akademis, tetapi juga belajar memahami cara mereka belajar. Koordinasi erat antara guru, siswa, dan orang tua penting agar pembelajaran berlangsung berkelanjutan—baik di sekolah maupun di rumah.”

Slamet Suwanto menekankan perbedaan mendasar PYP dibanding metode konvensional. Bila pendidikan lama menekankan hafalan dan jawaban tunggal, PYP justru merangsang pertanyaan terbuka. Anak-anak tak hanya diajari “apa” yang harus dipelajari, melainkan “mengapa” dan “bagaimana” sebuah pengetahuan bermakna.

Orang Tua, Mitra Belajar yang Aktif

Salah satu tujuan utama workshop adalah menjadikan orang tua bukan sekadar penonton, melainkan mitra aktif dalam perjalanan belajar anak. Karenanya, setelah sesi presentasi, para orang tua diajak mengikuti diskusi kelompok kecil.

Masing-masing diberi kasus sederhana: bagaimana merespons anak yang terus bertanya “mengapa langit biru?” atau “kenapa tanaman bisa tumbuh ke atas, bukan ke bawah?”. Dari situ, diskusi berkembang. Ada yang spontan menjawab dengan fakta ilmiah, ada yang mendorong anak mencari buku, ada pula yang mengusulkan membuat eksperimen sederhana di rumah.

Melalui aktivitas ini, orang tua merasakan langsung dinamika inquiry: tidak ada satu jawaban mutlak, melainkan berbagai cara yang memperkaya.

Testimoni Orang Tua

Acara kemudian memberi ruang bagi orang tua untuk berbagi pengalaman nyata.

Ibu Destya Finiarty dan Bapak Vikri Ardiansyah, orang tua murid K1, berbagi refleksi tentang perubahan yang mereka rasakan di rumah:

“Sejak anak kami mengikuti PYP di Bakti Mulya 400 Cibubur, kami melihat perkembangan yang sangat nyata. Ia menjadi lebih berani bertanya, gemar mengeksplorasi hal-hal baru, dan menyalurkan kreativitasnya dengan cara yang kadang tidak kami duga. Rasanya anak semakin tumbuh sebagai seorang inquirer, bukan sekadar penerima informasi.”

Ibu Muji Noviani, orang tua murid Grade 1, berbicara dengan nada antusias:

“Sejak mengikuti program IB di Bakti Mulya 400, kami benar-benar melihat perbedaan. Anak kami menjadi lebih aktif bertanya, kreatif, dan mampu menjelaskan hal yang dipelajari dengan logis. Pendekatan inquiry membuat belajar lebih bermakna, tidak sekadar hafalan. Anak saya sangat senang sekali sekolah—selalu ingin segera kembali ke sekolah.”

Sementara Ibu Vina, yang memiliki dua anak di Grade 2 dan 4, menambahkan dimensi lain:

“Anak saya kini menampilkan rasa ingin tahu yang tinggi—selalu mencari tahu ‘mengapa’ di setiap aktivitas. Melalui workshop ini, saya semakin memahami bahwa PYP juga mengharuskan orang tua selalu belajar, tidak hanya dari sisi anaknya. Dan di IB PYP diajarkan empati dengan sekitar, sehingga membentuk kemauan dan kemampuan anak untuk belajar sepanjang hayat.”

Menjahit Masa Depan

Parents’ Workshop kali ini membuktikan bahwa pendidikan bukanlah domain tunggal sekolah. Ia adalah kerja kolektif: guru, siswa, dan orang tua bergerak bersama.

Baca juga : Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Bakti Mulya 400 Cibubur telah menunjukkan caranya: membuka ruang dialog, menghadirkan filosofi pendidikan dunia, dan membumikannya dalam konteks Indonesia.

Dalam sebuah percakapan ringan setelah acara, Slamet Suwanto menutup dengan refleksi,

“Kami percaya, anak-anak adalah penjelajah. Tugas kita orang dewasa adalah menyalakan kompas, bukan memberi peta yang sudah jadi. Inquiry membuat mereka berani bertanya, berani salah, dan berani mencoba. Dari situlah lahir pembelajar sepanjang hayat.”

Dan pada Sabtu pagi itu, di tengah library yang penuh dengan semangat kolaborasi, keyakinan itu semakin nyata: pendidikan adalah perjalanan bersama, dan setiap langkah kecil inquiry adalah pijakan menuju masa depan yang lebih cerah.

Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Cibubur, 17 Agustus 2025 – Pagi itu, langit Cibubur tampak cerah meski udara masih diselimuti embun sisa malam. Halaman Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dipenuhi warna merah dan putih. Dari kejauhan, derap langkah para siswa terdengar kompak, berpadu dengan sorak semangat hadirin yang mulai memenuhi kursi undangan. Tepat pukul 07.00 WIB, upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dimulai dengan penuh khidmat.

Acara tersebut diikuti oleh seluruh elemen sekolah: siswa kelas 7 dan 10 tampil sebagai petugas utama upacara, mulai dari pasukan pengibar bendera hingga anggota paduan suara. Guru dan karyawan hadir sebagai peserta, sementara para orang tua siswa turut menyaksikan jalannya upacara dari kursi tamu undangan—sebuah pemandangan yang menyatukan keluarga besar Bakti Mulya 400 dalam satu semangat kebangsaan.

Defile Semangat Empat Pleton

Sebelum prosesi resmi dimulai, perhatian tertuju pada defile kesiapan empat pleton siswa. Mereka berbaris tegap, menampilkan disiplin dan kekompakan gerakan. Sorak kecil dari para orang tua terdengar lirih, namun segera teredam oleh wibawa barisan. Defile ini bukan sekadar parade barisan, melainkan simbol kesiapan generasi muda dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan.

Seolah menyambung pesan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Defile itu menjadi bukti bahwa penghargaan kepada jasa pahlawan dapat diwujudkan bukan hanya dengan mengenang, tetapi dengan melatih diri untuk siap melanjutkan estafet perjuangan.

Sang Merah Putih Berkibar

Tepat pukul 07.13 WIB, komando lantang terdengar. Pasukan pengibar bendera melangkah mantap menuju tiang utama. Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, dilantunkan penuh semangat oleh paduan suara sekolah. Seluruh tamu undangan berdiri, memberi hormat.

Momen pengibaran bendera selalu menjadi titik emosional. Sang Merah Putih perlahan naik, menyentuh langit biru Cibubur. Derap kaki pasukan pengibar seirama, memastikan setiap gerakan presisi. Suasana hening, hanya suara lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengalun mengisi udara.

Amanat Inspektur Upacara

Puncak upacara terjadi saat Inspektur Upacara, Ketua Pelaksana Harian (KPH) Bakti Mulya 400, Dr. Sutrisno Muslimin, M.Si., menyampaikan amanatnya. Dengan suara tegas namun hangat, ia membuka dengan refleksi sejarah.

“Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah buah dari keberanian para pemuda yang memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan Jepang. Dari situ, bangsa kita belajar bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Maka, tugas generasi sekarang adalah belajar mengambil peluang, agar sukses dan masa depan bisa diraih dengan gemilang,” ujarnya.

Ia lalu menekankan pentingnya pendidikan sebagai jalan utama mengisi kemerdekaan. “Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan upaya sadar agar setiap siswa memiliki fisik yang sehat, mental yang kuat, karakter yang kokoh, serta pengetahuan yang luas. Semua itu menjadi bekal mempercepat kemajuan bangsa.”

Dalam sambutannya, Dr. Sutrisno juga menegaskan peran Bakti Mulya 400 Cibubur. “Sekolah ini mempersiapkan generasi yang cakap, tangguh, dan siap menghadapi tantangan zaman.”

Baca juga : Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Pidatonya seakan menggema dengan semangat Tan Malaka yang pernah berkata: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Dengan idealisme itu, pendidikan menjadi tiang utama bangsa yang merdeka.

Menyongsong Masa Depan

Usai amanat, paduan suara siswa membawakan lagu Hari Merdeka. Suasana lapangan bergemuruh, seakan semua ikut larut dalam energi perjuangan yang diwariskan para pendiri bangsa. Setelah doa dipanjatkan, upacara resmi ditutup dengan laporan komandan upacara serta penghormatan terakhir kepada inspektur upacara. Namun acara tak berhenti di situ. Paduan suara Sekolah Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur kemudian memberikan persembahan lagu-lagu kebangsaan.

Di usia ke-80 kemerdekaan Indonesia, tantangan bangsa kian kompleks. Revolusi digital, globalisasi, hingga perubahan iklim menuntut kesiapan generasi muda yang berbeda dari sebelumnya. Upacara di Bakti Mulya 400 Cibubur memberikan optimisme: jika semangat ini terus dijaga, Indonesia akan memiliki generasi emas yang siap mengemban tanggung jawab sejarah. Seperti pesan Bung Karno pada pidato legendarisnya tahun 1966: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pesan itu kini terasa nyata: generasi sekarang berhadapan dengan tantangan moral, korupsi, disrupsi teknologi, hingga krisis lingkungan. Namun, bila pendidikan mampu melahirkan insan tangguh, tantangan itu akan terjawab.

Siswa SMA BM400 Cibubur Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Cibubur – Di sebuah ruang kelas modern di bilangan Cibubur, puluhan siswa Sekolah Bakti Mulya 400 (BM400) tampak khusyuk menatap layar laptop mereka. Namun hari itu bukan sekadar tentang mengerjakan tugas harian. Para siswa sedang membangun sesuatu yang lebih besar, lebih personal, dan lebih bermakna: portofolio digital mereka sendiri.

Menggunakan platform Google Sites, siswa SMA BM400 menyusun situs pribadi yang memuat dokumentasi lengkap perjalanan akademik dan non-akademik mereka. Mulai dari jurnal reflektif, artikel ilmiah, dokumentasi proyek, hingga karya-karya visual dan catatan kegiatan sosial. Semua terangkum dalam sebuah laman digital yang tak hanya rapi secara teknis, tapi juga sarat muatan emosional dan nilai-nilai pembelajaran yang dalam.

“Inilah cara baru kami mendidik anak-anak untuk mengenali dirinya sendiri,” ujar Adi Sayono, salah satu guru pembimbing proyek ini. “Kami tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga bagaimana mereka merangkai cerita, menginterpretasi pengalaman, dan membingkai identitas mereka dalam dunia digital.”

Belajar Merangkum Diri Sendiri

Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, BM400 Cibubur memilih untuk tidak hanya menjadi pengikut tren, melainkan pelaku transformasi. Melalui portofolio digital ini, para siswa tidak semata-mata menunjukkan apa yang sudah mereka capai, tetapi juga bagaimana mereka sampai pada titik tersebut. Portofolio ini menjadi semacam cermin diri digital—tempat siswa bercermin, bertanya, dan menjawab: Siapa saya sebagai pelajar, dan ke mana saya ingin melangkah?

Setiap laman pada portofolio itu disusun secara mandiri oleh siswa, meski dengan bimbingan dari guru. Mereka memilih sendiri narasi yang ingin disampaikan, desain yang merepresentasikan kepribadian, hingga konten-konten yang dianggap paling mencerminkan perkembangan mereka. Hasilnya pun beragam: ada yang tampil elegan minimalis, ada yang penuh warna dan grafis dinamis—semuanya menjadi cerminan otentik dari masing-masing siswa.

Portofolio ini juga menjadi ajang pembuktian kompetensi dalam berbagai dimensi. Di satu sisi, proyek ini melatih keterampilan teknis seperti literasi digital, tata letak visual, dan pengelolaan konten daring. Di sisi lain, ia memperkuat aspek personal seperti kemampuan refleksi, manajemen diri, dan ekspresi diri yang bertanggung jawab.

Dari Cibubur ke Panggung Global

Tak berhenti sebagai alat pembelajaran internal, portofolio digital ini juga dirancang dengan visi ke depan. Khususnya bagi siswa SMA yang bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri, portofolio ini menjadi senjata presentasi diri yang tak ternilai harganya.

Dalam dunia pendidikan global yang semakin kompetitif, nilai rapor dan skor tes bukan lagi satu-satunya alat ukur. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ternama di luar negeri kini banyak menilai personal statement, digital presence, hingga evidence of learning ownership. Di sinilah portofolio digital menunjukkan perannya.

“Portofolio ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya mengikuti sistem, tetapi juga mampu mengartikulasikan identitas dan ambisinya secara autentik dan profesional,” terang Jelita Bestari, Koordinator Bidang Kurikulum. “Ini adalah bentuk kesiapan mereka menjadi warga dunia—yang tahu siapa dirinya dan tahu bagaimana mengomunikasikannya.”

Bagi siswa yang berminat masuk ke program seni rupa, desain, atau teknologi digital, portofolio ini bahkan menjadi syarat utama dalam proses pendaftaran. Sedangkan untuk program studi lain, portofolio tetap menjadi nilai tambah yang signifikan.

Menulis Sejarah Pribadi

Namun lebih dari segalanya, proyek ini mengajarkan siswa tentang pentingnya menulis sejarah pribadi. Di era informasi seperti saat ini, siapa yang mampu mendokumentasikan dan menyampaikan perjalanan hidupnya dengan baik, akan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan diakui.

“Portofolio digital ini adalah arsip hidup. Ia akan terus berkembang seiring dengan perkembangan diri siswa,” kata Iryanto Yosa, Kepala SMA BM400 Cibubur. “Mereka belajar menulis, merefleksi, menilai diri sendiri, dan memperbaiki arah. Ini pelajaran hidup yang tak ternilai.”

Dalam proses pembuatan portofolio ini, tidak sedikit siswa yang terkejut melihat betapa luasnya pengalaman mereka selama sekolah. Kegiatan yang semula dianggap sepele—seperti menjadi MC dalam acara kelas, mengikuti kegiatan sosial, atau menulis opini di majalah sekolah—mendadak terasa penting saat dituangkan dalam narasi digital yang runut.

Baca juga : Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Yang lebih penting, siswa diajak untuk tidak hanya menampilkan sisi gemilang, tapi juga proses jatuh-bangun yang mereka alami. Portofolio ini menjadi ruang jujur, di mana kegagalan dan kebingungan pun bisa menjadi bagian dari cerita yang membentuk kepribadian.

Pendidikan yang Memberdayakan

Langkah BM400 Cibubur ini sejatinya merepresentasikan semangat baru dalam pendidikan: memberdayakan siswa sebagai subjek utama pembelajaran. Dalam sistem konvensional, siswa kerap menjadi objek evaluasi—dinilai, diperingkat, dibandingkan. Tapi lewat proyek portofolio digital, siswa diajak menjadi penulis narasi mereka sendiri.

Dari sudut pandang pendidikan abad ke-21, inisiatif ini juga selaras dengan empat pilar pembelajaran UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Portofolio digital merangkum semuanya—dalam format yang sesuai dengan zaman.

Yudi Latif Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka-2

Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Ajakan untuk kembali ke akar budaya dan etika lingkungan dalam sistem pendidikan

JAKARTA – Pendidikan yang baik tidak cukup hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan. Pendidikan harus membentuk manusia secara utuh, dari karakter hingga kesadaran spiritual.

Hal itu disampaikan cendekiawan Prof. Dr. Yudi Latif, MA dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”. yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025) dan dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya.

Ia menegaskan, pendidikan sejati bukan hanya soal skor ujian atau hasil akademik. “Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Bukan hanya pengajaran kognitif,” ujar Yudi.

Menurut Yudi, pendidikan yang baik harus menyatu dengan kebudayaan. Ia mengingatkan bahwa manusia belajar bukan hanya lewat insting seperti binatang, tetapi lewat budaya. “Budaya adalah jembatan yang memaknai hidup,” tegasnya.

Empat Nilai, Satu Akar

Yudi menyebutkan empat nilai dasar yang seharusnya menjadi isi pendidikan: nilai etis (baik dan buruk), nilai logis (benar dan salah), nilai estetis (pantas dan tidak), serta nilai pragmatis (manfaat dan mudarat).

Keempat nilai itu, kata Yudi, diikat oleh akar yang sama: spiritualitas.

“Tanpa spiritualitas, peradaban kita rapuh. Teknologi dan ilmu tak akan membawa manfaat bila nilai-nilai hilang,” ujarnya.

Yudi mengutip pandangan Arnold Toynbee. Dalam peradaban, sains dan teknologi hanyalah lapisan terluar. Di bawahnya ada estetika, kemudian etika, dan di paling dalam ada spiritualitas.

Pendidikan Adalah Pohon

Dalam paparannya, Yudi menggambarkan pendidikan seperti pohon. Akarnya adalah karakter. Batangnya ilmu. Cabangnya keterampilan. Buahnya adalah kreativitas dan inovasi.

Karena itu, pendidikan dasar seperti PAUD dan SD seharusnya fokus pada membentuk karakter. “Anak-anak perlu ditanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan sejak dini,” katanya.

Baru di jenjang berikutnya, mereka diperkenalkan pada ilmu pengetahuan dan keahlian. Yudi mengingatkan agar sistem pendidikan tidak melompat ke hasil tanpa membangun akar yang kuat.

Kritik Terhadap Sistem Nilai Sekolah

Yudi menyoroti sistem penilaian di sekolah yang terlalu bergantung pada angka dan ujian pilihan ganda. Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip deep learning.

“Deep learning itu menekankan proses, bukan sekadar hasil. Skor tidak bisa mengukur nilai estetis, etis, dan spiritual,” tegasnya.

Ia mengajak semua pihak, terutama sekolah, untuk mulai menilai anak-anak secara lebih utuh, tidak hanya dari nilai rapor.

Pelajaran dari Sebatang Pohon

Yudi juga berbagi kisah saat anaknya bersekolah di Australia. Ketika sebuah pohon tua di dekat sekolah harus ditebang, pihak sekolah mengajak siswa menyampaikan “selamat jalan” kepada pohon itu.

“Setiap anak bahkan membawa pulang potongan kecil kayu dari pohon itu sebagai kenangan,” katanya.

Baca juga : Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Menurut Yudi, itu adalah contoh pendidikan lingkungan yang menyentuh hati. Anak-anak tidak hanya belajar tentang pohon secara ilmiah, tapi juga membangun ikatan emosional dan etika dengan alam.

Ajak Pendidikan Kembali ke Akar

Di akhir sesi, Yudi mengajak dunia pendidikan untuk kembali pada akar. Ia menyebutkan tiga hubungan penting dalam Islam: hablum minallah (relasi dengan Tuhan), hablum minannas (dengan manusia), dan hablum minal ‘alam (dengan alam).

“Ketiganya harus ada dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Pendidikan, menurutnya, harus menumbuhkan manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijaksana dan peduli lingkungan.

Rocky Gerung Setiap Pohon adalah Sungai

Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Diskusi Panel Pendidik di BM 400 Cibubur Serukan Revolusi Cara Berpikir Ekologis

Cibubur – Filsuf publik Rocky Gerung menyerukan pentingnya memasukkan etika lingkungan ke dalam kurikulum sekolah sebagai langkah mendesak menjawab krisis ekologis global. Hal ini disampaikan dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”, yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025).

Acara yang dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya ini menjadi ruang intelektual yang membongkar ulang paradigma pendidikan Indonesia. Rocky, dalam paparan filosofisnya yang memukau, menyampaikan bahwa “Setiap pohon adalah sungai” — sebuah lompatan logika ekologis yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik.

“Selama ini kita mengajarkan bahwa sungai mengalir dari gunung ke laut. Tapi kini, mari ajarkan bahwa setiap pohon adalah sungai vertikal. Ia memompa air dari akar ke daun, menghasilkan oksigen lewat fotosintesis. Maka menebang pohon sama saja dengan memotong sungai,” tegas Rocky, disimak antusias para pendidik yang memadati ruangan.

Guru: Pilar Epistemik Bangsa yang Terlupakan

Diskusi juga menyoroti degradasi moral dunia pendidikan saat ini. Rocky menyesalkan adanya jarak antara idealisme founding fathers bangsa dengan praktik pendidikan modern yang terseret arus komersialisasi dan kecurangan akademik.

“Guru bukan hanya profesi. Ia adalah fondasi epistemik bangsa. Bung Karno, Hatta, Buya Hamka, Natsir — semua adalah guru. Tapi sekarang, kita melihat plagiarisme merajalela, dosen memalsukan publikasi, dan sistem pendidikan kehilangan etika,” ujarnya prihatin.

Menurut Rocky, Sekolah Bakti Mulya 400 justru menampilkan harapan baru sebagai lembaga pendidikan yang berani berbicara tentang etika lingkungan, di saat banyak sekolah sibuk mengejar akreditasi dan angka tanpa arah moral yang jelas.

Lingkungan Bukan Tambahan, Tapi Inti Kurikulum

Mengutip SDGs dan diskursus global, Rocky menyebut bahwa “environmental ethics” sudah menjadi grammar baru dalam kurikulum dunia. Namun sayangnya, banyak akademisi dan pejabat pendidikan Indonesia masih gagap dalam isu ini.

“Menteri kita datang ke forum dunia, tapi tidak tahu cara bicara soal etika lingkungan. Padahal ini adalah pengetahuan universal masa depan,” kritiknya.

Ia mengajak seluruh pendidik yang hadir untuk tidak hanya mengajarkan IPA, IPS, atau Bahasa, tapi juga mengintegrasikan logika ekologis dalam setiap pelajaran. “Asap mobil di Thamrin bisa membatalkan panen emak-emak di Gunung Sumbing. Itu yang disebut butterfly effect. Maka mari kita bentuk cara berpikir sistemik dan ekologis pada anak-anak,” tambahnya.

Indonesia Berpotensi Jadi Nauru Kedua

Dalam bagian akhir diskusi, Rocky memberikan peringatan keras tentang potensi Indonesia mengalami kehancuran ekologis seperti negara Nauru — sebuah negara kecil di Pasifik yang sempat kaya karena eksploitasi fosfat, namun kini menjadi salah satu negara termiskin dan rusak total akibat absennya etika ekologis dalam kebijakan negaranya.

Baca juga : Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

“Kalau pemimpin kita hanya bermental dealer, bukan leader, maka masa depan Indonesia bisa gelap. Tanpa paradigma lingkungan, pembangunan hanyalah ilusi,” pungkas Rocky.

BM 400 dan Pendidikan Etis

Bagi Rocky Gerung, hari itu bukan sekadar undangan ceramah. Di panggung Invinity Hall, ia tak sedang menyampaikan diktum filsafat atau mengulang jargon SDGs. Ia tengah menyaksikan percik kecil dari kemungkinan besar: sekolah yang mau dan mampu berbicara dalam grammar lingkungan—bahasa masa depan yang kini justru asing di negeri sendiri.

“BM 400 do speak environmental ethics,” katanya, bukan sebagai pujian basa-basi, melainkan pengakuan jujur terhadap ikhtiar yang langka. Di sekolah ini, ia melihat kurikulum tak lagi sekadar rencana belajar, tapi niat membentuk nalar baru: nalar ekologis. Guru-gurunya berbicara tentang pohon bukan sebagai objek, tapi sebagai sungai yang berdiri; tentang oksigen bukan sekadar rumus, tapi etika kehidupan.

Rocky tahu, dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk mengurus akreditasi ketimbang makna, gerakan semacam ini bisa tampak utopis. Tapi ia juga tahu, sejarah perubahan besar sering dimulai dari tempat-tempat yang tak banyak disorot. Maka ketika Bakti Mulya 400 memulai langkahnya, ia menyebutnya sebagai “janji sunyi pendidikan etis”—janji yang tak diucap nyaring, tapi bergerak dalam kurikulum dan cara berpikir.

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme-1

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

Jakarta — Di tengah arus deras globalisasi dan disrupsi teknologi yang kian tak terbendung, Yayasan Badan Kerjasama Pendidikan (YBKSP) Bakti Mulya 400 meneguhkan langkah strategisnya dalam menata masa depan pendidikan nasional. Lewat gelaran Town Hall Meeting 2025 yang berlangsung Senin (23/6) di Auditorium SMP Bakti Mulya 400 Jakarta, yayasan ini mengajak ratusan guru dan tenaga kependidikan dari TK hingga SMA untuk kembali pada akar: menjadi pemimpin pembelajaran yang transformatif, berdaya saing global, dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.

Mengangkat tema “Embodying Transformative Leadership Towards Nationalism-Based and Global Standard Education,” forum ini dirancang bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi sebagai momentum konsolidasi visi dan nilai bersama para pendidik di bawah naungan YBKSP Bakti Mulya 400.  Dari pelantikan pimpinan baru hingga sesi diskusi mendalam oleh tokoh-tokoh nasional, perhelatan ini menjadi cermin dari sebuah gerakan intelektual dan moral dalam tubuh institusi pendidikan.

Menjadi Pemimpin Zaman Baru

Dr. H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Ketua Pelaksana Harian YBKSP BM400 dalam sambutannya menyampaikan bahwa, “Guru adalah pemimpin perubahan. Mereka dituntut untuk cakap, berjiwa nasionalis, dan mampu memandu anak-anak kita di tengah turbulensi zaman.”

Sutrisno juga menegaskan visi besar yayasan dalam pengembangan jangka panjang. “Kami menargetkan akan ada 400 sekolah Bakti Mulya di seluruh Indonesia. Karena hanya dengan memperluas keberadaan, sekolah BM dapat berkontribusi lebih besar bagi masa depan bangsa ini,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pembangunan pendidikan tidak cukup hanya dengan mutu, tetapi juga dengan skala. Ekspansi menjadi alat untuk memperluas pengaruh nilai dan kualitas pendidikan Bakti Mulya ke seluruh pelosok negeri.

Dalam sesi pertama bertajuk “Empowering Future Educators: Skills to Lead in 2030 and Beyond,” narasumber Dr. Drg. Muh. Arief Rosyid, M.KM. membedah kompleksitas kompetensi yang harus dimiliki guru masa depan.

“Guru adalah arsitek masa depan bangsa,” tegas Arief. “Ia harus menjadi pemimpin yang transformatif—mampu membaca arah zaman, berani mengambil inisiatif, dan membimbing siswa dengan kasih serta visi.”

Diskusi ini mengulik keterampilan abad ke-21 yang kini tak lagi bersifat opsional, melainkan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik pembelajaran yang relevan dan efektif. Tak heran, topik seperti literasi AI, global awareness, lifelong learning, hingga kemampuan berkolaborasi lintas budaya menjadi sorotan penting.

Membumikan Nasionalisme di Ruang Kelas

Jika sesi pertama membahas kemampuan teknologis dan pedagogis, maka sesi kedua hadir sebagai jantung nilai acara. Dalam diskusi “Strengthening National Values in Teacher Leadership Practices,” Prof. Dr. Laode Masihu Kamaluddin, MSc, M.Eng. mengajak peserta merefleksikan kembali esensi nasionalisme dalam praktik pendidikan.

Menurut Laode, inti dari pembelajaran yang bermakna adalah “trust”—kepercayaan antara guru dan siswa yang menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat masa depan. “Kita sedang menuju super smart society. Tapi tak ada teknologi yang bisa menggantikan makna kepercayaan,” ungkapnya penuh penekanan.

Ia menambahkan, pembelajaran yang baik bukan sekadar tentang konten, tetapi tentang karakter dan kepercayaan yang dibangun secara terus-menerus. “Hari ini adalah cerminan masa depan,” tuturnya. “Apa yang guru tanam hari ini akan mempengaruhi arah bangsa dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.”

Baca juga : Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

Melalui pendekatan naratif dan contoh konkret, Prof. Laode menekankan bahwa guru bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjembatan antara lokalitas dan dunia. Siswa yang mengenal budaya dan sejarah bangsanya akan lebih siap bersaing di ranah global tanpa kehilangan identitas.

Konsolidasi Lintas Unit dan Arah Strategis Yayasan

Town Hall Meeting 2025 juga menjadi panggung konsolidasi internal yayasan. Dalam sesi pelantikan, para pimpinan unit baru dari TK, SD, SMP, dan SMA Bakti Mulya 400 resmi dikukuhkan. Momentum ini menjadi penanda regenerasi kepemimpinan dalam semangat kolaborasi dan keberlanjutan.

Kegiatan ini tak hanya berbicara soal gagasan besar dan arah strategis, selain itu juga memberi ruang bagi ekspresi seni dan hiburan sebagai bagian dari keseimbangan dalam dunia pendidikan. Penampilan seni dari para guru menutup sesi makan siang dengan semarak.

Dengan spirit transformatif yang mengakar pada nasionalisme dan menyentuh standar global, Town Hall Meeting 2025 adalah manifestasi dari komitmen kolektif untuk membangun Indonesia dari ruang kelas—dengan hati, nalar, dan nilai.