Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan Pesan dari Upacara HUT RI ke-80 Sekolah BM 400 Cibubur

Cibubur, 17 Agustus 2025 – Pagi itu, langit Cibubur tampak cerah meski udara masih diselimuti embun sisa malam. Halaman Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dipenuhi warna merah dan putih. Dari kejauhan, derap langkah para siswa terdengar kompak, berpadu dengan sorak semangat hadirin yang mulai memenuhi kursi undangan. Tepat pukul 07.00 WIB, upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dimulai dengan penuh khidmat.

Acara tersebut diikuti oleh seluruh elemen sekolah: siswa kelas 7 dan 10 tampil sebagai petugas utama upacara, mulai dari pasukan pengibar bendera hingga anggota paduan suara. Guru dan karyawan hadir sebagai peserta, sementara para orang tua siswa turut menyaksikan jalannya upacara dari kursi tamu undangan—sebuah pemandangan yang menyatukan keluarga besar Bakti Mulya 400 dalam satu semangat kebangsaan.

Defile Semangat Empat Pleton

Sebelum prosesi resmi dimulai, perhatian tertuju pada defile kesiapan empat pleton siswa. Mereka berbaris tegap, menampilkan disiplin dan kekompakan gerakan. Sorak kecil dari para orang tua terdengar lirih, namun segera teredam oleh wibawa barisan. Defile ini bukan sekadar parade barisan, melainkan simbol kesiapan generasi muda dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan.

Seolah menyambung pesan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Defile itu menjadi bukti bahwa penghargaan kepada jasa pahlawan dapat diwujudkan bukan hanya dengan mengenang, tetapi dengan melatih diri untuk siap melanjutkan estafet perjuangan.

Sang Merah Putih Berkibar

Tepat pukul 07.13 WIB, komando lantang terdengar. Pasukan pengibar bendera melangkah mantap menuju tiang utama. Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, dilantunkan penuh semangat oleh paduan suara sekolah. Seluruh tamu undangan berdiri, memberi hormat.

Momen pengibaran bendera selalu menjadi titik emosional. Sang Merah Putih perlahan naik, menyentuh langit biru Cibubur. Derap kaki pasukan pengibar seirama, memastikan setiap gerakan presisi. Suasana hening, hanya suara lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mengalun mengisi udara.

Amanat Inspektur Upacara

Puncak upacara terjadi saat Inspektur Upacara, Ketua Pelaksana Harian (KPH) Bakti Mulya 400, Dr. Sutrisno Muslimin, M.Si., menyampaikan amanatnya. Dengan suara tegas namun hangat, ia membuka dengan refleksi sejarah.

“Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah buah dari keberanian para pemuda yang memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan Jepang. Dari situ, bangsa kita belajar bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Maka, tugas generasi sekarang adalah belajar mengambil peluang, agar sukses dan masa depan bisa diraih dengan gemilang,” ujarnya.

Ia lalu menekankan pentingnya pendidikan sebagai jalan utama mengisi kemerdekaan. “Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan upaya sadar agar setiap siswa memiliki fisik yang sehat, mental yang kuat, karakter yang kokoh, serta pengetahuan yang luas. Semua itu menjadi bekal mempercepat kemajuan bangsa.”

Dalam sambutannya, Dr. Sutrisno juga menegaskan peran Bakti Mulya 400 Cibubur. “Sekolah ini mempersiapkan generasi yang cakap, tangguh, dan siap menghadapi tantangan zaman.”

Baca juga : Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Pidatonya seakan menggema dengan semangat Tan Malaka yang pernah berkata: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Dengan idealisme itu, pendidikan menjadi tiang utama bangsa yang merdeka.

Menyongsong Masa Depan

Usai amanat, paduan suara siswa membawakan lagu Hari Merdeka. Suasana lapangan bergemuruh, seakan semua ikut larut dalam energi perjuangan yang diwariskan para pendiri bangsa. Setelah doa dipanjatkan, upacara resmi ditutup dengan laporan komandan upacara serta penghormatan terakhir kepada inspektur upacara. Namun acara tak berhenti di situ. Paduan suara Sekolah Internasional Bakti Mulya 400 Cibubur kemudian memberikan persembahan lagu-lagu kebangsaan.

Di usia ke-80 kemerdekaan Indonesia, tantangan bangsa kian kompleks. Revolusi digital, globalisasi, hingga perubahan iklim menuntut kesiapan generasi muda yang berbeda dari sebelumnya. Upacara di Bakti Mulya 400 Cibubur memberikan optimisme: jika semangat ini terus dijaga, Indonesia akan memiliki generasi emas yang siap mengemban tanggung jawab sejarah. Seperti pesan Bung Karno pada pidato legendarisnya tahun 1966: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pesan itu kini terasa nyata: generasi sekarang berhadapan dengan tantangan moral, korupsi, disrupsi teknologi, hingga krisis lingkungan. Namun, bila pendidikan mampu melahirkan insan tangguh, tantangan itu akan terjawab.

Yudi Latif Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka-2

Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Ajakan untuk kembali ke akar budaya dan etika lingkungan dalam sistem pendidikan

JAKARTA – Pendidikan yang baik tidak cukup hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan. Pendidikan harus membentuk manusia secara utuh, dari karakter hingga kesadaran spiritual.

Hal itu disampaikan cendekiawan Prof. Dr. Yudi Latif, MA dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”. yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025) dan dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya.

Ia menegaskan, pendidikan sejati bukan hanya soal skor ujian atau hasil akademik. “Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Bukan hanya pengajaran kognitif,” ujar Yudi.

Menurut Yudi, pendidikan yang baik harus menyatu dengan kebudayaan. Ia mengingatkan bahwa manusia belajar bukan hanya lewat insting seperti binatang, tetapi lewat budaya. “Budaya adalah jembatan yang memaknai hidup,” tegasnya.

Empat Nilai, Satu Akar

Yudi menyebutkan empat nilai dasar yang seharusnya menjadi isi pendidikan: nilai etis (baik dan buruk), nilai logis (benar dan salah), nilai estetis (pantas dan tidak), serta nilai pragmatis (manfaat dan mudarat).

Keempat nilai itu, kata Yudi, diikat oleh akar yang sama: spiritualitas.

“Tanpa spiritualitas, peradaban kita rapuh. Teknologi dan ilmu tak akan membawa manfaat bila nilai-nilai hilang,” ujarnya.

Yudi mengutip pandangan Arnold Toynbee. Dalam peradaban, sains dan teknologi hanyalah lapisan terluar. Di bawahnya ada estetika, kemudian etika, dan di paling dalam ada spiritualitas.

Pendidikan Adalah Pohon

Dalam paparannya, Yudi menggambarkan pendidikan seperti pohon. Akarnya adalah karakter. Batangnya ilmu. Cabangnya keterampilan. Buahnya adalah kreativitas dan inovasi.

Karena itu, pendidikan dasar seperti PAUD dan SD seharusnya fokus pada membentuk karakter. “Anak-anak perlu ditanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan sejak dini,” katanya.

Baru di jenjang berikutnya, mereka diperkenalkan pada ilmu pengetahuan dan keahlian. Yudi mengingatkan agar sistem pendidikan tidak melompat ke hasil tanpa membangun akar yang kuat.

Kritik Terhadap Sistem Nilai Sekolah

Yudi menyoroti sistem penilaian di sekolah yang terlalu bergantung pada angka dan ujian pilihan ganda. Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip deep learning.

“Deep learning itu menekankan proses, bukan sekadar hasil. Skor tidak bisa mengukur nilai estetis, etis, dan spiritual,” tegasnya.

Ia mengajak semua pihak, terutama sekolah, untuk mulai menilai anak-anak secara lebih utuh, tidak hanya dari nilai rapor.

Pelajaran dari Sebatang Pohon

Yudi juga berbagi kisah saat anaknya bersekolah di Australia. Ketika sebuah pohon tua di dekat sekolah harus ditebang, pihak sekolah mengajak siswa menyampaikan “selamat jalan” kepada pohon itu.

“Setiap anak bahkan membawa pulang potongan kecil kayu dari pohon itu sebagai kenangan,” katanya.

Baca juga : Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Menurut Yudi, itu adalah contoh pendidikan lingkungan yang menyentuh hati. Anak-anak tidak hanya belajar tentang pohon secara ilmiah, tapi juga membangun ikatan emosional dan etika dengan alam.

Ajak Pendidikan Kembali ke Akar

Di akhir sesi, Yudi mengajak dunia pendidikan untuk kembali pada akar. Ia menyebutkan tiga hubungan penting dalam Islam: hablum minallah (relasi dengan Tuhan), hablum minannas (dengan manusia), dan hablum minal ‘alam (dengan alam).

“Ketiganya harus ada dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Pendidikan, menurutnya, harus menumbuhkan manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijaksana dan peduli lingkungan.

Rocky Gerung Setiap Pohon adalah Sungai

Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Diskusi Panel Pendidik di BM 400 Cibubur Serukan Revolusi Cara Berpikir Ekologis

Cibubur – Filsuf publik Rocky Gerung menyerukan pentingnya memasukkan etika lingkungan ke dalam kurikulum sekolah sebagai langkah mendesak menjawab krisis ekologis global. Hal ini disampaikan dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”, yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025).

Acara yang dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya ini menjadi ruang intelektual yang membongkar ulang paradigma pendidikan Indonesia. Rocky, dalam paparan filosofisnya yang memukau, menyampaikan bahwa “Setiap pohon adalah sungai” — sebuah lompatan logika ekologis yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik.

“Selama ini kita mengajarkan bahwa sungai mengalir dari gunung ke laut. Tapi kini, mari ajarkan bahwa setiap pohon adalah sungai vertikal. Ia memompa air dari akar ke daun, menghasilkan oksigen lewat fotosintesis. Maka menebang pohon sama saja dengan memotong sungai,” tegas Rocky, disimak antusias para pendidik yang memadati ruangan.

Guru: Pilar Epistemik Bangsa yang Terlupakan

Diskusi juga menyoroti degradasi moral dunia pendidikan saat ini. Rocky menyesalkan adanya jarak antara idealisme founding fathers bangsa dengan praktik pendidikan modern yang terseret arus komersialisasi dan kecurangan akademik.

“Guru bukan hanya profesi. Ia adalah fondasi epistemik bangsa. Bung Karno, Hatta, Buya Hamka, Natsir — semua adalah guru. Tapi sekarang, kita melihat plagiarisme merajalela, dosen memalsukan publikasi, dan sistem pendidikan kehilangan etika,” ujarnya prihatin.

Menurut Rocky, Sekolah Bakti Mulya 400 justru menampilkan harapan baru sebagai lembaga pendidikan yang berani berbicara tentang etika lingkungan, di saat banyak sekolah sibuk mengejar akreditasi dan angka tanpa arah moral yang jelas.

Lingkungan Bukan Tambahan, Tapi Inti Kurikulum

Mengutip SDGs dan diskursus global, Rocky menyebut bahwa “environmental ethics” sudah menjadi grammar baru dalam kurikulum dunia. Namun sayangnya, banyak akademisi dan pejabat pendidikan Indonesia masih gagap dalam isu ini.

“Menteri kita datang ke forum dunia, tapi tidak tahu cara bicara soal etika lingkungan. Padahal ini adalah pengetahuan universal masa depan,” kritiknya.

Ia mengajak seluruh pendidik yang hadir untuk tidak hanya mengajarkan IPA, IPS, atau Bahasa, tapi juga mengintegrasikan logika ekologis dalam setiap pelajaran. “Asap mobil di Thamrin bisa membatalkan panen emak-emak di Gunung Sumbing. Itu yang disebut butterfly effect. Maka mari kita bentuk cara berpikir sistemik dan ekologis pada anak-anak,” tambahnya.

Indonesia Berpotensi Jadi Nauru Kedua

Dalam bagian akhir diskusi, Rocky memberikan peringatan keras tentang potensi Indonesia mengalami kehancuran ekologis seperti negara Nauru — sebuah negara kecil di Pasifik yang sempat kaya karena eksploitasi fosfat, namun kini menjadi salah satu negara termiskin dan rusak total akibat absennya etika ekologis dalam kebijakan negaranya.

Baca juga : Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

“Kalau pemimpin kita hanya bermental dealer, bukan leader, maka masa depan Indonesia bisa gelap. Tanpa paradigma lingkungan, pembangunan hanyalah ilusi,” pungkas Rocky.

BM 400 dan Pendidikan Etis

Bagi Rocky Gerung, hari itu bukan sekadar undangan ceramah. Di panggung Invinity Hall, ia tak sedang menyampaikan diktum filsafat atau mengulang jargon SDGs. Ia tengah menyaksikan percik kecil dari kemungkinan besar: sekolah yang mau dan mampu berbicara dalam grammar lingkungan—bahasa masa depan yang kini justru asing di negeri sendiri.

“BM 400 do speak environmental ethics,” katanya, bukan sebagai pujian basa-basi, melainkan pengakuan jujur terhadap ikhtiar yang langka. Di sekolah ini, ia melihat kurikulum tak lagi sekadar rencana belajar, tapi niat membentuk nalar baru: nalar ekologis. Guru-gurunya berbicara tentang pohon bukan sebagai objek, tapi sebagai sungai yang berdiri; tentang oksigen bukan sekadar rumus, tapi etika kehidupan.

Rocky tahu, dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk mengurus akreditasi ketimbang makna, gerakan semacam ini bisa tampak utopis. Tapi ia juga tahu, sejarah perubahan besar sering dimulai dari tempat-tempat yang tak banyak disorot. Maka ketika Bakti Mulya 400 memulai langkahnya, ia menyebutnya sebagai “janji sunyi pendidikan etis”—janji yang tak diucap nyaring, tapi bergerak dalam kurikulum dan cara berpikir.

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme-1

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

Jakarta — Di tengah arus deras globalisasi dan disrupsi teknologi yang kian tak terbendung, Yayasan Badan Kerjasama Pendidikan (YBKSP) Bakti Mulya 400 meneguhkan langkah strategisnya dalam menata masa depan pendidikan nasional. Lewat gelaran Town Hall Meeting 2025 yang berlangsung Senin (23/6) di Auditorium SMP Bakti Mulya 400 Jakarta, yayasan ini mengajak ratusan guru dan tenaga kependidikan dari TK hingga SMA untuk kembali pada akar: menjadi pemimpin pembelajaran yang transformatif, berdaya saing global, dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.

Mengangkat tema “Embodying Transformative Leadership Towards Nationalism-Based and Global Standard Education,” forum ini dirancang bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi sebagai momentum konsolidasi visi dan nilai bersama para pendidik di bawah naungan YBKSP Bakti Mulya 400.  Dari pelantikan pimpinan baru hingga sesi diskusi mendalam oleh tokoh-tokoh nasional, perhelatan ini menjadi cermin dari sebuah gerakan intelektual dan moral dalam tubuh institusi pendidikan.

Menjadi Pemimpin Zaman Baru

Dr. H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Ketua Pelaksana Harian YBKSP BM400 dalam sambutannya menyampaikan bahwa, “Guru adalah pemimpin perubahan. Mereka dituntut untuk cakap, berjiwa nasionalis, dan mampu memandu anak-anak kita di tengah turbulensi zaman.”

Sutrisno juga menegaskan visi besar yayasan dalam pengembangan jangka panjang. “Kami menargetkan akan ada 400 sekolah Bakti Mulya di seluruh Indonesia. Karena hanya dengan memperluas keberadaan, sekolah BM dapat berkontribusi lebih besar bagi masa depan bangsa ini,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pembangunan pendidikan tidak cukup hanya dengan mutu, tetapi juga dengan skala. Ekspansi menjadi alat untuk memperluas pengaruh nilai dan kualitas pendidikan Bakti Mulya ke seluruh pelosok negeri.

Dalam sesi pertama bertajuk “Empowering Future Educators: Skills to Lead in 2030 and Beyond,” narasumber Dr. Drg. Muh. Arief Rosyid, M.KM. membedah kompleksitas kompetensi yang harus dimiliki guru masa depan.

“Guru adalah arsitek masa depan bangsa,” tegas Arief. “Ia harus menjadi pemimpin yang transformatif—mampu membaca arah zaman, berani mengambil inisiatif, dan membimbing siswa dengan kasih serta visi.”

Diskusi ini mengulik keterampilan abad ke-21 yang kini tak lagi bersifat opsional, melainkan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik pembelajaran yang relevan dan efektif. Tak heran, topik seperti literasi AI, global awareness, lifelong learning, hingga kemampuan berkolaborasi lintas budaya menjadi sorotan penting.

Membumikan Nasionalisme di Ruang Kelas

Jika sesi pertama membahas kemampuan teknologis dan pedagogis, maka sesi kedua hadir sebagai jantung nilai acara. Dalam diskusi “Strengthening National Values in Teacher Leadership Practices,” Prof. Dr. Laode Masihu Kamaluddin, MSc, M.Eng. mengajak peserta merefleksikan kembali esensi nasionalisme dalam praktik pendidikan.

Menurut Laode, inti dari pembelajaran yang bermakna adalah “trust”—kepercayaan antara guru dan siswa yang menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat masa depan. “Kita sedang menuju super smart society. Tapi tak ada teknologi yang bisa menggantikan makna kepercayaan,” ungkapnya penuh penekanan.

Ia menambahkan, pembelajaran yang baik bukan sekadar tentang konten, tetapi tentang karakter dan kepercayaan yang dibangun secara terus-menerus. “Hari ini adalah cerminan masa depan,” tuturnya. “Apa yang guru tanam hari ini akan mempengaruhi arah bangsa dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.”

Baca juga : Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

Melalui pendekatan naratif dan contoh konkret, Prof. Laode menekankan bahwa guru bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjembatan antara lokalitas dan dunia. Siswa yang mengenal budaya dan sejarah bangsanya akan lebih siap bersaing di ranah global tanpa kehilangan identitas.

Konsolidasi Lintas Unit dan Arah Strategis Yayasan

Town Hall Meeting 2025 juga menjadi panggung konsolidasi internal yayasan. Dalam sesi pelantikan, para pimpinan unit baru dari TK, SD, SMP, dan SMA Bakti Mulya 400 resmi dikukuhkan. Momentum ini menjadi penanda regenerasi kepemimpinan dalam semangat kolaborasi dan keberlanjutan.

Kegiatan ini tak hanya berbicara soal gagasan besar dan arah strategis, selain itu juga memberi ruang bagi ekspresi seni dan hiburan sebagai bagian dari keseimbangan dalam dunia pendidikan. Penampilan seni dari para guru menutup sesi makan siang dengan semarak.

Dengan spirit transformatif yang mengakar pada nasionalisme dan menyentuh standar global, Town Hall Meeting 2025 adalah manifestasi dari komitmen kolektif untuk membangun Indonesia dari ruang kelas—dengan hati, nalar, dan nilai.

Prof Laode Kamaluddin Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar-1

Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

JAKARTA — Dalam auditorium Sekolah Bakti Mulya 400 yang dipenuhi para pendidik sekolah tersebut, Senin 23 Juni 2024, sebuah wacana penting tentang arah pendidikan bangsa mengemuka. Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membuka cakrawala berpikir para pendidik melalui satu gagasan utama: membangun kepemimpinan guru dengan fondasi nilai-nilai nasional, kepercayaan, dan pemahaman akan transformasi zaman.

Karakter, Tradisi, dan Etika: Pilar Nilai Bangsa

Laode memulai dengan mengajak para guru dan kepala sekolah kembali ke akar. Ia menegaskan bahwa national value—nilai-nilai bangsa Indonesia—adalah fondasi utama dalam merancang arah pendidikan masa depan. Tiga pilar utama yang ia sorot adalah karakter, tradisi, dan etika.

Karakter, menurutnya, adalah kekuatan moral yang membentuk integritas guru dan peserta didik. Tradisi adalah jembatan peradaban yang menghubungkan warisan leluhur dengan tantangan kekinian. Sedangkan etika, adalah bingkai perilaku dalam masyarakat yang terus bergerak.

“Karakter itu bukan ajaran tambahan. Itu inti dari pendidikan,” katanya tegas. Tradisi dan etika, lanjutnya, bukan penghambat inovasi, tapi pemandu agar perubahan tidak kehilangan arah.

Ia mengingatkan bahwa pendidikan Indonesia memiliki tujuh sumber nilai utama: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, penghormatan terhadap budaya dan tradisi lokal, keadilan, kemanusiaan, serta toleransi dan kerukunan. “Nilai-nilai inilah yang menjadikan pendidikan kita memiliki ruh kebangsaan,” ucapnya.

Kepemimpinan Guru dan Filosofi Kepercayaan

Di bagian tengah paparannya, Laode menyoroti pentingnya teacher leadership. Tapi ia menyodorkan definisi yang tidak biasa. “Kepemimpinan guru adalah seni memengaruhi tanpa membuat orang merasa dipengaruhi,” ungkapnya.

Bagi Laode, inti dari kepemimpinan guru adalah trust—kepercayaan. Tanpa itu, komunikasi akan rapuh, informasi tak lagi bermakna, dan kepemimpinan kehilangan daya geraknya. Dalam struktur sekolah, trust membentuk ekosistem: antara guru dan murid, antar sesama guru, serta antara guru dengan orang tua dan masyarakat.

Ia menyebut model High Performance Leadership dalam pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar: kualitas komunikasi, kualitas informasi, dan kualitas kepemimpinan. “Ketiganya saling memperkuat dalam atmosfer kepercayaan,” katanya. “Kalau tidak ada trust, tak akan ada transformasi.”

Dari Filsafat Analog ke Filsafat Digital

Sesi menjadi lebih reflektif ketika Laode membahas perubahan mendasar dalam cara berpikir generasi hari ini. Ia menyebut bahwa pendidikan tidak hanya bergeser dalam metode, tapi juga dalam kerangka epistemologis: dari filsafat analog ke filsafat digital.

“Generasi analog berpikir kontinu—bertahap, linear, terstruktur. Sedangkan generasi digital bersifat diskontinu—cepat, acak, dan multitasking,” jelasnya.

Perubahan ini membawa tantangan besar bagi dunia pendidikan. Guru tidak cukup hanya memahami kurikulum. Mereka harus memahami cara berpikir baru, dunia baru, dan cara belajar yang sangat berbeda dari masa lalu. “Jika kita masih mengajar dengan filosofi analog di hadapan anak-anak digital, kita sedang menanam benih yang tak akan tumbuh.”

Di sinilah nilai-nilai bangsa menjadi jangkar. Tradisi dan karakter menjadi penyeimbang dari kecepatan digitalisasi. Etika menjadi pelindung agar teknologi tidak menjadi senjata yang menusuk keadaban.

Pendidikan dan Teknologi: Kecanggihan yang Bernurani

Laode tidak menolak kemajuan. Sebaliknya, ia menyambutnya dengan konsep yang ia rumuskan sendiri: ABC + BEM—Artificial Intelligence, Big Data, Connectivity ditambah Blockchain, Ethics, dan Moral values. “Teknologi membentuk masa depan, tapi manusialah yang menentukan arahnya,” tegasnya, mengutip pandangannya sejak 2020.

Baca juga : Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Ia menyoroti bahwa pendidikan ke depan harus menjangkau wilayah yang selama ini tidak tersentuh: daerah 3T, kelompok marginal, dan anak-anak yang belum terlibat dalam ekosistem digital. “Reaching the Unreachable,” katanya, adalah misi mulia yang seharusnya menjadi prioritas bangsa.

Penutup: Merancang Masa Depan yang Bernilai

Saat sesi ditutup, suasana auditorium menjadi hening. Para pendidik yang hadir tak hanya diajak berpikir, tapi juga diajak merasa—merasakan pentingnya peran mereka dalam mendidik bangsa di tengah pergeseran besar dunia.

“Jangan jadikan hari ini sebagai cermin masa lalu,” Laode mengingatkan. “Jadikan ia sebagai cermin masa depan. Karena dari tangan-tangan guru hari ini, nasib masa depan bangsa akan ditentukan.”

Arief Rosyid Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa-2

Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Jakarta, 23 Juni 2025 — Dalam lanskap dunia yang terus berubah, satu hal tetap menjadi fondasi utama kemajuan peradaban: pendidikan. Dan di jantung pendidikan, berdiri sosok guru—bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin transformasi.

Itulah pesan kuat yang digaungkan Dr. drg. M. Arief Rosyid Hasan dalam Town Hall Meeting bertajuk “Pengajar di Masa Depan: Kepemimpinan, Artificial Intelligence, dan Nasionalisme”, yang digelar di Auditorium Bakti Mulya 400 Jakarta yang diikuti guru dan pimpinan Sekolah Bakti Mulya 400 Jakarta dan Cibubur.

Dengan gaya tutur tenang namun menggedor kesadaran, Arief mengajak para pendidik menatap masa depan dengan satu visi: menjadikan guru sebagai arsitek masa depan bangsa. “Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin perubahan. Mereka menanam benih masa depan di kelas, hari ini,” ujar Arief membuka paparannya.

Menjadi Pemimpin Transformatif

Dalam pemaparannya, Arief menekankan pentingnya guru mengadopsi kepemimpinan transformatif—yakni tipe pemimpin yang bukan hanya memimpin dari depan, tetapi hadir sebagai inspirasi, pemberi makna, motivator, sekaligus penyokong. “Guru masa depan harus mampu menyentuh sisi terdalam anak-anak: harapan, emosi, dan keberanian untuk bermimpi,” ujarnya.

Kepemimpinan transformatif menuntut guru untuk memimpin dengan visi, memberi keteladanan, membangun relasi personal, dan menyemangati murid bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta. “Ketika guru hadir bukan sekadar mengajar, melainkan mendampingi dan mendorong anak-anak melampaui batas dirinya, saat itulah kepemimpinan sejati lahir di kelas,” ucap Arief.

Transformasi bukanlah proyek sesaat, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi karakter dan ketekunan hati. Guru yang transformatif tidak hanya menjelaskan materi, tetapi memekarkan potensi. Tidak hanya memberi tahu, tetapi menggerakkan.

Tak hanya menyoroti peran individu guru, Arief juga menegaskan pentingnya menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar—yakni institusi yang tak henti belajar, beradaptasi, dan memperbarui diri.

Mengajar dengan Jiwa, Mendidik dengan Visi

Arief menggambarkan masa depan guru sebagai “pembelajar seumur hidup yang membentuk pembelajar seumur hidup.” Dalam paparan strategisnya, ia menekankan perlunya kombinasi antara kecerdasan digital dan ketajaman nilai.

Arief memetakan setidaknya enam keterampilan utama yang harus dimiliki pengajar masa depan:

  1. Transformational Thinking
    Kemampuan melihat pembelajaran sebagai proses perubahan, bukan sekadar transfer pengetahuan.
  2. Emotional Intelligence & Empathy
    Guru harus menjadi manusia utuh yang memahami dimensi emosional siswa di era yang penuh tekanan mental.
  3. Digital Pedagogy
    Penguasaan teknologi bukan opsional, melainkan prasyarat untuk relevansi.
  4. Global Competence with National Soul
    Memiliki wawasan dunia tanpa kehilangan identitas keindonesiaan.
  5. Leadership & Coaching Skill
    Guru adalah coach yang memampukan, bukan pelatih yang mengatur-atur.
  6. Interdisciplinary Mindset
    Dunia nyata tidak mengenal sekat mata pelajaran; guru masa depan harus berpikir lintas bidang.

Arief memuji praktik baik yang dilakukan komunitas seperti 1000 Guru, yang menjadi bukti bahwa semangat transformasi pendidikan bisa lahir dari mana saja—dari pegunungan Papua hingga sudut-sudut kota. Ia juga mengangkat contoh dosen dan guru muda yang aktif di media sosial, menjembatani ilmu dan masyarakat melalui format Instagram, TikTok edukatif, dan webinar.

Bonus Demografi dan Peran Strategis Guru

Di penghujung paparannya, Arief mengingatkan satu realitas penting: bonus demografi Indonesia yang akan mencapai puncaknya dalam dua dekade ke depan. “Kita sedang berada di tengah jendela peluang sejarah,” katanya. “Jika kita menyiapkan generasi muda dengan baik, bangsa ini akan melesat. Jika tidak, ia bisa menjadi beban sosial yang meledak.”

Baca juga : Yudi Latif di Forum Headmaster Academy Indonesia: Pendidikan adalah Proses Menjadi Manusia Seutuhnya

Dalam konteks ini, guru bukan hanya pencetak nilai ujian, melainkan penentu arah sejarah. Mereka yang hari ini membimbing murid membaca dan berpikir kritis, sejatinya sedang mempersiapkan pemimpin masa depan negeri.

“Guru adalah arsitek tak bernama dalam naskah besar bangsa. Tak tampak di panggung sejarah, tetapi fondasinya ditopang oleh tangan mereka,” ucap Arief, dengan mata menyapu seluruh guru yang menyimak.

Lima Pilar Kesiapan Sekolah BM 400 Cibubur-3

Lima Pilar Kesiapan Sekolah BM 400 Cibubur

Cibubur, 24 Mei 2025 — Dengan penuh rasa syukur dan semangat membara, Sekolah Bakti Mulya 400 hari ini secara resmi membuka lembaran baru dalam perjalanan pendidikannya dengan meresmikan Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur. Acara monumental ini dihadiri oleh dua tokoh nasional yang menjadi inspirasi dalam dunia pendidikan dan kebangsaan: Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, serta Dr. Ace Hasan Syadzily, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia.

Dalam sambutannya yang penuh semangat dan keyakinan, Dr. Sutrisno Muslimin, Ketua Pelaksana Harian Sekolah Bakti Mulya 400, menyampaikan bahwa peresmian ini bukan sekadar seremoni biasa. Ini adalah penanda kesiapan nyata dari Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur untuk melaksanakan pendidikan unggul yang akan dimulai pada Juli 2025.

“Alhamdulillah hari ini kita meresmikan sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur. Kami berani meresmikan dan mengundang dua tokoh nasional karena kami yakin: sekolah ini siap! Siap dari sisi program, fasilitas, SDM, dan peserta didik. Ini adalah bentuk kesungguhan kami dalam membangun peradaban,” tegas Dr. Sutrisno.

Lima Pilar Kesiapan BM400 Cibubur

Dengan lugas dan penuh keyakinan, Dr. Sutrisno memaparkan lima indikator kesiapan Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur:

1. Kesiapan Program dan Kurikulum
Sejak awal, pembangunan fisik sekolah ini tidak dilakukan sembarangan. Justru sebaliknya: program pendidikan, manual pembelajaran, dan arah pengembangan kurikulum telah diselesaikan terlebih dahulu. Dengan pendekatan holistik dan global, BM400 Cibubur mengusung kurikulum internasional yang progresif.
Untuk jenjang TK dan SD, diterapkan International Baccalaureate (IB), sedangkan SMP dan SMA menggunakan Cambridge Curriculum. Semua siswa nantinya akan lulus dengan tiga kredensial utama: ijazah nasional, ijazah internasional, dan sertifikasi keagamaan. Ini adalah bukti bahwa BM400 tak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kaya secara spiritual.

2. Kesiapan Sarana dan Prasarana
Pembangunan dimulai dari 29 April 2024 dengan peletakan batu pertama (groundbreaking), dan hanya dalam waktu satu tahun satu bulan, berdirilah kompleks pendidikan yang megah dan lengkap. Topping off dilaksanakan pada Desember 2024, dan kini seluruh fasilitas utama—ruang kelas, laboratorium fisika, kimia, biologi, ICT, serta perpustakaan—telah rampung.
Tak ketinggalan, sarana olahraga terus dilengkapi, termasuk rencana pembangunan kolam renang berstandar olimpik dan lintasan atletik. Hanya lapangan mini soccer yang akan dikebut dalam dua bulan ke depan. Ini adalah bukti nyata semangat kerja “ala Roro Jonggrang”, cepat dan tuntas!

3. Kesiapan Guru Berkualitas dan Berakhlak
Tak hanya cakap secara akademik, guru-guru di BM400 Cibubur adalah pribadi-pribadi yang sholeh dan sholehah. Proses seleksi dilakukan ketat, dengan salah satu kriteria utama adalah akhlak mulia.
“Kami memang mencari guru yang sholeh-sholeh. Karena guru bukan hanya pengajar, tapi pembimbing jiwa, konseleur nilai, dan teladan moral,” kata Dr. Sutrisno.
Semua guru telah melalui tes kompetensi dan tes keagamaan. Uniknya, seluruh guru juga dibekali pemahaman kebangsaan yang kuat— hakekatnya mereka adalah guru PPKN sekaligus guru agama. Karena di BM400, nasionalisme dan spiritualitas bukan pilihan, melainkan fondasi.

4. Kesiapan Peserta Didik
Target penerimaan siswa tahun ajaran pertama telah tercapai: 200 siswa telah resmi diterima, dan pendaftaran kini ditutup. Para siswa terpilih ini tidak hanya lolos karena nilai, tetapi juga karena komitmen dan kesungguhan mereka dan orang tua dalam menempuh pendidikan yang berkarakter.
“Sekarang saatnya kami menyiapkan mereka untuk menyambut Juli 2025 dengan kesiapan belajar yang penuh semangat,” ujar beliau.

5. Komitmen Nilai sebagai Inti Pendidikan
Lebih dari sekadar akademik, BM400 Cibubur hadir untuk membangun manusia paripurna. Nilai agama, nasionalisme, dan kompetensi global menjadi satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Sekolah ini hadir untuk mengakar kuat pada budaya bangsa, berdiri tegak dalam nilai keislaman, dan melangkah jauh dengan kurikulum internasional.

Baca juga : Pemimpin Masa Depan dan Jalan Terjal Disrupsi

Peresmian ini disambut antusias oleh para tokoh masyarakat, orang tua, dan calon peserta didik. Dalam sambutannya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, menyatakan kebanggaannya atas hadirnya sekolah seperti BM400 Cibubur yang membawa misi besar dalam dunia pendidikan Indonesia: pendidikan memuliakan peserta didik.

Gubernur Lemhannas RI, Dr. Ace Hasan Syadzily, menekankan bahwa sekolah ini adalah contoh nyata bagaimana pendidikan menjadi instrumen ketahanan nasional, dengan memupuk generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga cinta tanah air dan teguh dalam iman.

Tentang Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur
Sebagai cabang terbaru dari Sekolah Bakti Mulya 400 yang telah berkiprah sejak puluhan tahun di Jakarta, unit Cibubur hadir dengan semangat baru untuk menjawab tantangan pendidikan masa depan. Dengan motto “Holistic Education with Islamic Foundation”, sekolah ini menjadi titik terang bagi keluarga Indonesia yang mendambakan pendidikan unggul dan bermakna.

Hari ini bukan hanya peresmian sebuah gedung, tetapi pernyataan tekad: bahwa Bakti Mulya 400 Cibubur siap mengantarkan generasi masa depan menuju Indonesia Emas 2045.

Pemimpin Masa Depan dan Jalan Terjal Disrupsi

Pemimpin Masa Depan dan Jalan Terjal Disrupsi

Orasi Kebangsaan Gubernur Lemhannas RI di Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, 24 Mei 2025

Cibubur — Sabtu pagi itu, 24 Mei 2025, Infinity Hall Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur berubah menjadi ruang kontemplasi nasional. Di tengah suasana peresmian sekolah yang riang, Gubernur Lemhannas RI, Dr. H. TB. Ace Hasan Syadzily, M.Si., membawakan stadium general yang sarat muatan geopolitik, pendidikan karakter, dan filosofi kepemimpinan masa depan.

Dengan tema “Kepemimpinan Masa Depan”, kuliah umum Ace Hasan menyajikan panorama global dan nasional yang sedang berubah cepat. Tidak sekadar memotret tantangan, ia juga mengusulkan arah baru dalam membangun pemimpin berkarakter Indonesia di tengah era disrupsi.

Tantangan Geopolitik dan Disrupsi Global

Ace Hasan membuka paparannya dengan menyuguhkan lanskap dunia yang tengah bergolak. Di tingkat global, terjadi percepatan perubahan akibat Revolusi Industri 4.0 dan 5.0, serta meningkatnya ancaman keamanan non-tradisional seperti serangan siber dan hybrid warfare.

“Kita hidup di era penuh ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas,” ujarnya. “Pemimpin masa depan harus memahami dinamika ini agar tidak gagap dalam mengambil keputusan strategis.”

Selain itu, isu perubahan iklim, persaingan ekonomi antarnegara, serta instabilitas kawasan Asia Tenggara menjadi tantangan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks nasional. Bagi Ace, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam panggung geopolitik dunia.

Krisis Nilai, Bonus Demografi, dan Ancaman Ketimpangan

Menariknya, Ace tidak berhenti pada isu eksternal. Ia mengajak audiens untuk melihat kondisi domestik: menurunnya nilai-nilai kebangsaan, ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, dan proses digitalisasi yang belum merata.

“Bonus demografi adalah peluang, tapi bisa jadi bencana jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas SDM,” ucapnya.

Ace menekankan pentingnya pendidikan karakter, bukan hanya dari sisi kurikulum, tapi juga keteladanan, konsistensi nilai, dan lingkungan yang mendukung pembentukan kepribadian bangsa. Dalam konteks ini, peran sekolah menjadi sangat vital.

Membangun Future Leadership

Pokok utama orasi Ace adalah tentang konsep Future Leadership, kepemimpinan masa depan yang visioner, adaptif, dan inovatif. Ia merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh dunia seperti Rosabeth Moss Kanter, Michael Useem, dan Linda A. Hill, yang menekankan pentingnya kemampuan pemimpin untuk memimpin dalam kondisi yang terus berubah.

“Future leadership itu bukan soal jabatan, tapi soal kapasitas untuk mengelola ketidakpastian dan menciptakan peluang dari kekacauan,” kata Ace.

Namun, ia menambahkan satu unsur penting yang kerap luput dalam diskursus global: nilai-nilai kebangsaan. “Kepemimpinan Indonesia harus dibangun di atas empat konsensus dasar bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.”

Dengan demikian, kepemimpinan yang dibayangkan Ace adalah kepemimpinan yang global dalam cara berpikir, tapi nasionalis dalam akar dan orientasi moralnya.

Sembilan Ciri Pemimpin Masa Depan

Dalam paparannya, Ace mengutip Jacob Morgan yang merumuskan sembilan karakter pemimpin masa depan: Global Citizen, Servant, Chef (peracik keberagaman), Explorer, Coach, Futurist, Technology Teenager, Translator dan Yoda (bijak dan reflektif)

Namun, Ace memberikan penekanan khusus bahwa di Indonesia, kesembilan karakter ini harus dibingkai dalam nilai-nilai luhur bangsa. “Teknologi tanpa karakter hanya akan menghasilkan kekacauan,” ujarnya.

Pemimpin Indonesia masa depan, menurut Ace, tidak bisa hanya mengandalkan kompetensi digital atau manajerial. Ia harus menjadi “pemimpin berkarakter yang berpikir geopolitik dan bertindak strategik.”

Sekolah sebagai Inkubator Kepemimpinan

Di sinilah, kata Ace, sekolah memiliki peran sentral. Ia menyebut Sekolah Bakti Mulya 400 sebagai contoh lembaga pendidikan yang memiliki potensi menjadi inkubator pemimpin masa depan.

“Bukan hanya mencetak siswa yang pandai, tapi membentuk pribadi yang berintegritas, peduli, dan siap mengabdi pada bangsa,” ujarnya disambut tepuk tangan para guru dan orang tua.

Baca juga : Abdul Mu’ti: Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dan Optimisme Menuju Indonesia Emas

Ace juga mengingatkan bahwa tantangan pendidikan hari ini bukan hanya kurikulum, tapi juga penetrasi nilai-nilai asing lewat media digital yang tanpa filter. Maka, pendidikan karakter harus menjadi benteng moral, bukan sekadar pelengkap.

Kolaborasi, Inklusivitas, dan Keteladanan

Ace Hasan juga menyoroti pentingnya kepemimpinan kolaboratif dan inklusif. Di tengah era disrupsi, pemimpin tidak bisa lagi berjalan sendiri. “Mereka harus mampu bekerja lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas generasi.”

Ia juga mengingatkan pentingnya peran keteladanan, khususnya dari para guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat. “Kita tidak bisa membentuk pemimpin masa depan tanpa memberi contoh di hari ini.”

Kesimpulan: Kepemimpinan Berkarakter, Jalan Indonesia ke Depan

Kuliah umum Ace Hasan Syadzily di Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur bukan sekadar orasi seremonial. Ia menawarkan kerangka pikir yang tajam dan menyentuh inti persoalan: bahwa Indonesia hanya bisa menghadapi era disrupsi jika mampu membentuk generasi pemimpin yang tidak sekadar cerdas, tapi berkarakter dan berakar kuat pada nilai-nilai bangsa.

Future leadership, bagi Ace, adalah gabungan antara inovasi dan ideologi, antara adaptasi terhadap dunia dan komitmen terhadap Indonesia.

Di penghujung pidatonya, Ace mengajak semua pihak—sekolah, pemerintah, keluarga, dan masyarakat—untuk berkolaborasi membangun kepemimpinan masa depan yang berpijak pada empat pilar konsensus kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika).

“Kita tidak sedang membangun generasi untuk hari ini. Kita sedang menyiapkan masa depan Indonesia,” pungkasnya.

abdul muti cibubur bm400-3

Abdul Mu’ti: Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dan Optimisme Menuju Indonesia Emas

Cibubur — Langit Cibubur cerah pagi itu, Sabtu, 24 Mei 2025, ketika 1000 tamu undangan mulai memadati Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, sekolah yang diresmikan hari itu. Gedung berwarna coklat earth tone itu tampak kokoh sekaligus anggun, dengan detail arsitektur modern minimalis yang memancarkan kesan serius dan bersahabat. Dalam suasana meriah namun khidmat, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., hadir memberikan sambutan yang sarat makna—lebih dari sekadar formalitas seremonial.

Dengan gaya pidato yang renyah, bernas, dan sesekali diselingi guyonan khas, Prof. Mu’ti membuka orasinya dengan pujian tulus: “Bangunan sekolah yang sangat megah dan mewah ini dibangun tanpa serupiah pun dari bantuan pemerintah.” Tak sekadar basa-basi, ucapan itu disambut tepuk tangan hadirin, menandai pengakuan terhadap kontribusi konkret masyarakat dalam membangun pendidikan nasional.

Ia lalu menyampaikan harapan yang setengah bercanda namun tak kurang serius, “Kalau namanya Bakti Mulya 400, maka mohon dibangun sekolah seperti ini sebanyak 400. Kalau jumlahnya sudah 400, harapan kita untuk Indonesia Emas 2045 saya yakin akan terwujud lebih cepat dari waktunya.”

Di hadapan para tokoh pendidikan, pendiri yayasan, dan undangan kehormatan, Mu’ti tak hanya menyampaikan pujian, tetapi juga menegaskan posisi pendidikan swasta sebagai mitra strategis pemerintah. “Tidak ada lagi wacana dalam diri kami untuk menempatkan negeri dan swasta dalam posisi yang berkompetisi. Semuanya adalah mitra,” tegasnya. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian mengusung tema “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” pada peringatan Hardiknas 2025, sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip inklusi dan kolaborasi.

Pidato Mu’ti hari itu tak sekadar administratif. Ia menyelami sejarah dan sosiologi—mengingat kembali tulisan Aswab Mahasin di majalah Prisma tentang “Muslim Middle Class” yang muncul pada dekade 1980-an. Kelompok muslim kelas menengah yang tak hanya semakin sejahtera secara ekonomi, tetapi juga semakin sadar akan tanggung jawab sosial dan keagamaan mereka. Dari situlah Mu’ti memperkenalkan istilah “MUKIDI”: Muda, Kaya, Intelek, Dermawan, dan Idealis.

Karakter “Mukidi” ini, menurutnya, sangat tergambar dalam semangat dan latar belakang pendiri serta pengelola Sekolah Bakti Mulya 400. “Mereka ini wealthy people, tetapi juga dermawan. Mereka membantu sesama, bahkan yang tak dikenal, dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. Dan mereka tetap idealis, dengan latar belakang intelektual yang kuat,” ujarnya. Bagi Mu’ti, inilah potret kelompok masyarakat yang dapat menjadi motor perubahan: kelas menengah muslim yang tak hanya menanjak secara finansial, tapi juga spiritual dan sosial.

Dalam satu segmen pidatonya, ia membandingkan sekolah Bakti Mulya sebelumnya dengan yang baru ini. “This is a very excellent school,” katanya, mengenang masa lalu ketika masih menjadi Ketua Badan Akreditasi. “Dan ternyata yang excellent di sana, di sini lebih excellent lagi. Kalau di sana excellent, di sini excellentist,” guraunya yang disambut tawa hadirin.

Namun, nada kembali serius ketika ia menyampaikan pokok-pokok visi pendidikan nasional: pendidikan sebagai proses memuliakan manusia. Ia mengutip Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70, yang menyebut bahwa Allah telah memuliakan anak-anak Adam. “Kalau Allah memuliakan manusia, maka pendidikan sebagai proses tarbiyah harus menjadi proses yang memuliakan,” katanya dengan lantang. Baginya, pendidikan yang sejati bukan sekadar soal mengejar nilai atau prestasi, melainkan bagaimana menjadikan setiap murid dihargai, dituntun, dan tumbuh sesuai fitrahnya.

Baca juga : Sekolah BM 400 Cibubur Ikut “Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”

Ia menekankan bahwa arah baru pendidikan nasional adalah pendidikan yang memuliakan, mendalam (deep learning), dan membahagiakan. “Pendidikan harus membuat semua orang merasa seperti di rumah. Di sekolah, mereka harus merasa seperti berada di antara ayah dan bunda yang penuh kasih,” katanya, menutup gagasan yang sangat manusiawi.

Menjelang akhir pidato, Mu’ti menyampaikan permohonan maaf karena tak bisa mengikuti acara hingga selesai. Ia harus mewakili Wakil Presiden pada agenda lain di Taman Mini. Namun, dengan gaya khasnya, ia menegaskan, “Walaupun sudah pulang, spirit saya tetap berada di sini.”

Sambutan Mu’ti hari itu bukan hanya memberi semangat bagi pengelola Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, tetapi juga menjadi narasi besar bahwa pendidikan Indonesia bisa bergerak maju lewat gotong royong. Sekolah swasta, dengan semangat dan kontribusi nyata, adalah bagian penting dari mimpi Indonesia Emas 2045. Maka tak berlebihan jika pagi itu, di bawah langit Cibubur, terasa ada seberkas harapan baru yang tumbuh—khususnya untuk Sekolah Bakti Mulya 400 juga untuk masa depan bangsa.

Guru Sekolah BM 400 Cibubur Hadiri Festival Belajar SD BM 400 Pondok Indah-2

Guru Sekolah BM 400 Cibubur Hadiri Festival Belajar SD BM 400 Pondok Indah

JAKARTA – Guru peserta program induksi dari Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur turut hadir dan mengikuti rangkaian kegiatan Festival Belajar yang diselenggarakan oleh SD Bakti Mulya 400 Pondok Indah pada Jumat (9/5/2025). Festival ini digelar selama dua hari, yakni Jumat dan Sabtu, 9–10 Mei 2025, dengan tema Explore, Grow and Celebrate Learning Beyond Boundaries.

Kehadiran para guru BM 400 Cibubur ini bukan sekadar sebagai tamu, melainkan bagian dari proses pembelajaran aktif dalam program induksi mereka. Sebanyak 16 guru dari unit Kindergarten dan Primary Year Programme, sedang menjalani masa induksi sejak 5 Mei lalu. Festival ini pun menjadi salah satu sarana mereka menyelami langsung atmosfer pendidikan khas BM 400 yang holistik dan inovatif.

Hari pertama festival difokuskan pada eksibisi kelas 5 dan 6. Sedangkan hari kedua, Sabtu (10/5/2025), akan diisi dengan eksibisi kelas 1 hingga kelas 4. Tak hanya siswa dan guru, kegiatan ini juga melibatkan orang tua murid, tenaga kesehatan, hingga profesional dari bidang psikologi pendidikan.

Dalam sambutan pembuka, Kepala SD BM 400 Pondok Indah, Eliyani Umas, M.Pd.I., menyampaikan bahwa Festival Belajar merupakan momen penting bagi seluruh warga sekolah untuk mengapresiasi proses belajar yang telah dijalani sepanjang tahun ajaran 2024/2025. “Kami ingin menjelajahi, menumbuhkan, dan merayakan setiap langkah pembelajaran siswa, baik yang tampak maupun yang tak kasat mata. Ini adalah ruang ekspresi dan refleksi bagi seluruh elemen pendidikan di sekolah kami,” ujar Eliyani dengan penuh semangat.

Sejalan dengan tema besar festival, berbagai kegiatan digelar secara simultan. Di antaranya adalah pertunjukan siswa, pameran karya kreatif lintas mata pelajaran, talk show inspiratif bersama pakar pendidikan, pemeriksaan kesehatan gratis hasil kerja sama dengan mitra kesehatan, serta bazar yang melibatkan komunitas orang tua.

Salah satu sesi yang mencuri perhatian adalah Talk Show Inspiratif yang menghadirkan Alvina S., M.Psi., seorang psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga. Dalam paparannya, Alvina membagikan strategi praktis tentang bagaimana orang tua dapat menjadi pendamping belajar yang efektif bagi anak di rumah.

Alvina menekankan pentingnya sikap tegas tanpa harus bersikap marah. “Orang tua perlu mengajarkan bahwa setiap tindakan punya konsekuensi, tapi tidak dengan cara membentak atau memberi label negatif,” ujarnya. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga emosi saat menghadapi kesalahan anak. “Kalau sedang emosi, tarik napas dulu. Alihkan ke aktivitas lain, baru kemudian dekati anak dengan pendekatan yang solutif,” tambahnya.

Sementara itu, kehadiran guru-guru dari unit Cibubur disambut hangat oleh tim SD BM 400 Pondok Indah. Kolaborasi lintas unit ini menjadi bukti nyata dari semangat sinergi dan penguatan profesionalisme yang terus dibangun oleh Yayasan Bakti Mulya 400. “Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang belajar bagi siswa, tapi juga bagi kami para guru,” ungkap Hadi Suwarno, M.Pd., selaku Deputy Ketua Pelaksana Harian BM 400 yang turut mendampingi rombongan guru dari Cibubur.

Baca juga : Ketika Adzan Dikumandangkan dari Gedung Sekolah BM 400 Cibubur

Menurut Hadi, Festival Belajar menjadi media konkret yang mendukung tujuan program induksi guru, yakni mempercepat adaptasi guru baru terhadap budaya sekolah, meningkatkan kompetensi profesional dan pedagogik, serta membangun relasi dan kolaborasi lintas unit. Ia berharap semangat yang diperoleh dari kegiatan ini bisa dibawa pulang ke unit Cibubur untuk memperkaya praktik pembelajaran.

Festival Belajar SD BM 400 bukan sekadar ajang pamer karya, tetapi juga ruang pembelajaran bersama bagi seluruh komunitas sekolah. Di tengah berbagai tantangan pendidikan saat ini, kegiatan semacam ini menjadi oase yang menyejukkan—bahwa pembelajaran sejatinya adalah perjalanan panjang yang harus dirayakan, dijaga, dan diperkuat dari waktu ke waktu.