ikhlas_web

Keikhlasan: Menenteramkan Jiwa

#FridayInsightBM400

Keikhlasan: Menenteramkan Jiwa

Resonansi dari Friday Insight Dr.H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Jumat, 21/11/2025

Ada saat-saat ketika kita mengajar lalu hati terasa berat, langkah seakan tertarik mundur, dan batin seperti diuji tanpa henti. Pada titik-titik itulah keikhlasan sedang mengetuk pintu jiwa kita—menanyakan apakah kita masih menautkan segala yang kita lakukan pada Allah, atau sudah terpeleset pada penilaian manusia.

Keikhlasan bukan sekadar kata yang indah diucapkan di bibir. Ia adalah kerja batin yang sunyi: menerima, memberi, dan berjuang tanpa berharap kembali. Seperti akar pohon yang tak terlihat, tetapi darinyalah batang tumbuh kokoh, ranting mengembang, dan buah bermekaran.

Mengajar: Jalan Ibadah Menuju Allah

Ketika kita masuk kelas, sejatinya kita sedang menapaki jalan ibadah. Guru bukan hanya penyampai informasi—guru adalah pembentuk masa depan, penjaga fitrah, dan penuntun kecil-kecil manusia menuju cahaya Tuhannya. Maka, menciptakan lingkungan yang menuntun anak pada Allah—mengajak tahajud, mengingatkan shalat malam, menanamkan puasa—adalah bagian dari jihad yang senyap namun berpahala dahsyat.

Setiap ilmu yang kita sampaikan, setiap langkah kaki yang kita ayunkan menuju ruang kelas, sejatinya tercatat sebagai jihad fi sabilillah. Dan jihad dalam diam terkadang lebih berat daripada jihad yang tampak. Sebab lawannya bukan musuh, tetapi diri sendiri.

Hidup Menjadi Tenang Ketika Hati Ikhlas

Keikhlasan membuat kita berhenti mengejar sorak-sorai dunia. Kita bekerja bukan karena atasan, bukan karena aturan, bukan demi pujian atau apresiasi—melainkan karena kita ingin ibadah kita sampai pada Allah. Dari sinilah ketenangan lahir: ketika tujuan kita kembali pada satu arah, satu nama, satu tujuan.

Sebab orang yang merasa cukup, akan dicukupkan oleh Allah. Orang yang mengejar dunia, akan terus merasa kurang. Tapi orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tidak akan pernah kehilangan arah.

Keutamaan Ikhlas

Ada amalan kecil yang menjadi besar karena ikhlas. Menyingkirkan sampah atau duri di jalan, membantu teman sekerja, menahan amarah, memberikan tempat duduk kepada orang lain, mendoakan orang lain secara tersembunyi dan sejenisnya.

Ikhlas juga adalah pagar yang menjaga hati dari riya dan ujub. Di tengah budaya pamer, flexing, dan ingin dilihat orang, keikhlasan adalah benteng batin yang membuat pahala tetap utuh.

Dan yang paling indah, keikhlasan membawa kedamaian hati—karena hati yang ikhlas adalah hati yang merdeka.

Tanda-Tanda Orang Ikhlas

  1. Tidak kecewa saat kebaikannya tidak dipuji.
  2. Tidak marah ketika tidak dihargai.
  3. Senang beramal meski tak ada satu pun yang tahu.
  4. Tidak membandingkan amalnya dengan amal orang lain.

Kata seorang publik figur, Irfan Hakim, “Saya tidak akan mengeluh, saya selalu bilang Alhamdulillah, karena saya takut kalau saya mengeluh, kenikmatan saya akan dicabut.”
Itulah bahasa hati yang sudah memahami nikmatnya ikhlas.

Mengajarkan Ikhlas pada Anak

Keikhlasan bisa ditanamkan sejak dini:

  1. Luruskan niat saat mulai melakukan sesuatu, ajari anak menjaga nawaitu.
  2. Sembunyikan sebagian amal, agar hati terbiasa tidak mencari pengakuan.
  3. Banyak bermuhasabah, mengingat dosa dan kekurangan diri.
  4. Melatih diri menolak pujian, agar tetap rendah hati.

Keikhlasan adalah pintu bagi segala kebaikan. Ia membuat hidup sederhana terasa cukup, yang berat menjadi ringan, yang jauh terasa dekat. Mengajar dengan ikhlas bukan hanya mendidik anak-anak—tetapi juga mendidik jiwa kita sendiri agar semakin dekat dengan Allah.

Pada akhirnya, ikhlas adalah perjalanan yang tidak pernah selesai. Tapi setiap langkah kita di jalan itu adalah cahaya yang kelak menerangi hidup kita—di dunia, dan terutama di akhirat kelak.

Semoga Allah menjaga keikhlasan kita dalam setiap langkah yang kita hadiahkan untuk-Nya.

syukur_web

Bersyukur, Kunci Ketenangan dan Penguatan Jiwa

#FridayInsightBM400

Bersyukur, Kunci Ketengan dan Penguatan Jiwa

Resonansi dari Friday Insight Dr.H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Jumat, 05/12/25

Ada saat-saat dalam hidup ketika kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan menyadari betapa banyak nikmat yang Allah titipkan kepada kita tanpa kita sadari. Ada fondasi kebahagiaan yang sering kita lupakan: ikhlas, sabar, dan syukur. Tiga kata yang sederhana, namun menjadi penopang kokohnya jiwa seorang hamba.

Tanpa tiga dasar itu, setinggi apa pun jabatan, sebesar apa pun prestasi, kebahagiaan selalu terasa menjauh. Tapi ketika ketiganya hadir dalam hati, hidup yang biasa menjadi luar biasa; nikmat kecil terasa besar; dan perjalanan yang berat pun terasa lebih ringan.

Makna Syukur yang Kerap Kita Lupakan

Syukur bukan sekadar ucapan “Alhamdulillah.” Ia lebih dalam dari itu, lebih lembut, lebih dalam dan lebih menyentuh jiwa.

Pertama, syukur adalah menampakkan nikmat Allah, bukan untuk riya, tapi sebagai bentuk penghormatan atas karunia-Nya.

Ketika kita mengenakan seragam dan atribut sebagai guru di Bakti Mulya 400, itu bukan sekadar kewajiban. Itu adalah pernyataan syukur bahwa Allah telah memberikan kita amanah mulia: mendidik generasi terbaik di salah satu sekolah terbaik.

Kedua, syukur adalah memuji Sang Pemberi Nikmat. Bukan memuji nikmatnya, tapi memuji Allah yang telah menurunkannya.

Ketiga, syukur adalah menganggap besar setiap nikmat, meski terlihat kecil dalam ukuran dunia.

Senyum murid, ucapan terima kasih sederhana, gaji yang datang tepat waktu, kesehatan untuk bangun pagi—semuanya adalah rezeki dari Allah yang mudah kita abaikan jika hati tak peka.

Dan ketika kita memandang nikmat itu besar, maka Allah benar-benar akan menjadikannya cukup. Hati yang lapang tidak dibentuk oleh besarnya rezeki, tapi oleh besarnya rasa syukur.

Tiga Bentuk Syukur yang Menjaga Kita Tetap Tenteram

  1. Syukur dengan Hati

Merasa cukup, tidak banyak mengeluh, dan senantiasa mengingat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Hati yang bersyukur tidak sibuk membandingkan hidupnya dengan orang lain, sebab ia tahu—yang terbaik sudah Allah pilihkan untuknya.

2. Syukur dengan Lisan
Ucapan lembut yang memuji Allah, doa yang tidak pernah putus, dan lisan yang tidak mengeluh. Jika kita belajar mengurangi keluhan, pelan-pelan hidup terasa lebih ringan.

3. Syukur dengan Perbuatan
Menggunakan nikmat untuk membantu orang lain. Jika diberi harta, sisihkan untuk sedekah. Carilah orang-orang yang tepat, yang membutuhkan, yang mendekatkan hati kita pada kasih sayang Allah.

Ada Tiga Nikmat yang Sering Kita Abaikan

1. Nikmat Tubuh yang Sehat

Kesehatan adalah kendaraan utama untuk beribadah. Bangun untuk tahajud, menjaga tubuh dengan olahraga, merawat diri untuk tetap kuat dalam mengajar.

Dan jika suatu hari tubuh tidak sehat, tetaplah bangun untuk bersujud—karena tanda hamba bukan hanya yang kuat, tapi yang tetap berusaha mendekat pada Rabb-nya.

2. Nikmat Waktu

Waktu adalah nikmat yang tak pernah kembali. Jangan habiskan terlalu banyak untuk hal-hal yang tak bermanfaat—scroll media sosial tanpa tujuan, menghabiskan jam tanpa makna. Waktu yang terkelola adalah bentuk syukur yang nyata.

3. Nikmat Ilmu

Ilmu adalah cahaya. Maka tugas kita bukan hanya menyimpannya, tetapi membaginya.
Persiapkan diri sebelum mengajar, karena ilmu yang diajarkan dengan sungguh-sungguh mendatangkan keberkahan yang tak terhingga.

Tanda-Tanda Seseorang yang Benar-Benar Bersyukur

  1. Tidak banyak mengeluh.
    Keluhan memadamkan cahaya hati.
  2. Dalam urusan dunia, melihat ke bawah, bukan ke atas.
    Ini menumbuhkan rasa cukup dan menyejukkan jiwa.
  3. Merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
    Cukup bukan berarti pas-pasan—cukup adalah ketika hati merasa tenang.
  4. Menggunakan nikmat untuk menolong orang lain.
    Sedekah adalah cara untuk menolong orang lain. Sebab sedekah bukan tentang jumlah, tapi tentang ketulusan.

Akhirnya…

Syukur adalah seni melihat hidup dari sudut pandang Allah.
Sabar adalah cara Allah mendewasakan jiwa.
Ikhlas adalah jalan menuju ketenangan yang tak tergoyahkan.

Dan ketika tiga hal itu tumbuh bersama, hidup menjadi lebih jernih, langkah menjadi lebih ringan, dan hati menjadi lebih dekat dengan-Nya.

Semoga Allah menguatkan kita untuk menjadi hamba yang lebih bersyukur, lebih sabar, dan lebih ikhlas—serta lebih siap menerima setiap nikmat-Nya dengan hati yang lapang.

sabar_materi_updated

Sabar Sebagai Pilar Ketangguhan

#FridayInsightBM400

Sabar Sebagai Pilar Ketangguhan

Resonansi dari Friday Insight Dr.H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Jumat, 28/11/25

Ada satu kata yang sering kita ucapkan, tetapi jarang benar-benar kita menghayatinya: sabar. Ia terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya adalah mahkota dari seluruh kualitas batin manusia. Dalam sebuah renungan yang jujur dan lugas, kita diingatkan bahwa sabar bukan sekadar kemampuan menunggu, melainkan kemampuan menahan, menjaga, dan tetap teguh pada kebaikan saat keadaan justru mendorong kita untuk runtuh.

Sabar adalah Kendali Terbesar Seorang Manusia

Sabar pertama-tama adalah kemampuan menahan diri dari suara hati yang gelap—prasangka buruk, dendam, dan kebencian. Sebab sebelum lisan mengucapkan kata, sebelum tangan melakukan tindakan, semua dimulai dari apa yang bergetar dalam hati.

Kata Imam Al-Ghazali, hati itu ibarat cermin. Bila ia bersih, ia memantulkan benar dan salah dengan jernih. Ia menjadi kompas moral. Tetapi bila ia buram, maka manusia kehilangan kendali atas dirinya. Dan kehilangan kendali adalah awal dari semua kerusakan.

Karena itu, sabar bukan kelemahan. Ia justru kekuatan tertinggi, karena ia mengajarkan kita untuk tetap menjadi manusia meski dunia membentur kita dengan keras.

Tiga Pilar Sabar: Ketaatan, Menjauhi Maksiat, dan Menerima Takdir

  1. Sabar dalam Ketaatan
    Menjaga shalat Isya (dengan qoblihah dan ba’diah) tanpa tergesa, bangun shalat tahajud dan witir di malam yang gelap, dingin dan lelah—semua itu adalah latihan jiwa. Ketaatan bukan selalu mudah, tetapi justru kesabaran di dalamnya yang membuatnya bernilai.
  2. Sabar dalam Menjauhi Maksiat
    Di tengah dunia yang penuh kebisingan, ketidakadilan, dan berita-berita luka, kita diuji. Melihat kemungkaran harus membangunkan minimal getaran protes dalam hati. Kalau kita punya kekuasaan, kita menolong. Kalau tidak punya, kita berdoa. Yang penting: hati jangan mati.
  3. Sabar terhadap Takdir
    Hidup sesungguhnya hanyalah perpindahan dari satu takdir ke takdir lainnya. Kita tidak selalu memilih jalannya, tetapi kita selalu memilih sikap kita.
    Saat sakit datang, saat jalan hidup berbelok tanpa rencana, saat orang datang dan pergi—semua itu takdir. Tetapi sebelum takdir final ditetapkan, manusia diberi ruang untuk mengusahakan perubahan. Dan di situlah sabar menemukan maknanya.

Sabar Adalah Penjaga Karakter

Sabar merupakan pagar terakhir yang menjaga karakter. Tanpanya, manusia mudah terseret dalam amarah, kesombongan, dan keputusan-keputusan yang disesali seumur hidup.

Ketika engkau kehilangan uang, engkau kehilangan sedikit.
Ketika engkau kehilangan kesehatan, engkau kehilangan banyak.
Tetapi ketika engkau kehilangan karakter, engkau kehilangan segalanya.

Cara Mengumpulkan Sabar

  1. Perbanyak zikir dan istighfar, karena hati yang basah oleh zikir lebih mudah dijaga.
  2. Ingat besarnya pahala bagi orang sabar, pahala tanpa batas.
  3. Lihatlah ujian orang lain yang lebih berat, agar kita tidak mudah mengeluh.
  4. Sadar bahwa setiap urusan terjadi dengan izin Allah, sehingga hati tidak memberontak terhadap realitas.
  5. Kuatkan iman dan tawakal.
  6. Latih diri dari hal-hal kecil, karena kesabaran besar tumbuh dari kesabaran kecil.

Ciri Orang Sabar

  1. Tenang menghadapi masalah besar.
  2. Tidak tergesa membuat keputusan.
  3. Tetap berbuat baik meski diperlakukan tidak baik.
  4. Tidak mengeluh berlebihan.
  5. Konsisten dalam kebaikan.
  6. Menerima takdir sambil terus berusaha.

Dan yang terpenting: ia tidak menyimpan dendam. Sebab dendam adalah racun pelan yang mempercepat kematian jiwa.

Batas Sabar

Sabar bukanlah pasrah buta yang membiarkan apa pun terjadi tanpa sikap. Sabar adalah kekuatan batin yang terarah—ia tahu kapan harus menahan diri, tetapi juga tahu kapan harus berdiri tegak. Karena itu, ada batas-batas yang tidak boleh kita sabari.

Pertama, tidak boleh sabar ketika melihat maksiat. Ketika kemungkaran terjadi di depan mata, diam berarti membiarkan keburukan tumbuh tanpa kendali. Sabar di sini bukan pilihan; yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengingatkan dan mencegah.

Kedua, tidak boleh sabar terhadap kezaliman. Entah kita yang dizalimi atau orang lain yang menjadi korban, kita memiliki kewajiban moral untuk melawan. Kezaliman tidak akan berhenti hanya karena kita bertahan; ia berhenti ketika seseorang berani berkata cukup.

Ketiga, tidak boleh sabar dalam hal yang menyebabkan hilangnya hak. Jika kesabaran membuat kita merelakan hak yang seharusnya kita miliki—kehormatan, keadilan, atau kesempatan—maka itu bukan lagi kesabaran, melainkan pengabaian terhadap diri sendiri.

Keempat, sabar tidak berarti boleh menyakiti diri sendiri. Kesabaran yang membuat kita tertekan, memendam luka, atau menanggung beban yang tak sehat bukanlah sikap mulia. Itu hanyalah bentuk ketidakberanian untuk berkata bahwa sesuatu perlu diubah.

Pada akhirnya, sabar bukan berarti lemah. Justru sebaliknya, sabar berarti kuat pada waktunya dan tegas pada tempatnya. Sabar adalah keseimbanganantara ketenangan jiwa dan keberanian bertindak—karena tidak semua hal layak ditahan, dan tidak semua hal boleh dilepaskan begitu saja.

Penutup: Sabar, Jalan Setiap Manusia Hebat

Sabar bukan hanya untuk orang tua, bukan hanya untuk ustaz atau guru, bukan hanya untuk mereka yang sedang diuji berat. Sabar adalah napas panjang yang harus dipelajari setiap manusia yang ingin hidupnya bermakna.

Karena hidup bukan dimulai dari usia 20, 30, atau 40. Hidup dimulai setiap kali kita memilih untuk tetap teguh, tetap waras, dan tetap berpegang pada kebaikan—meski dunia seolah mendorong kita untuk menyerah.

Sabar adalah cermin hati.
Dan hati yang jernih adalah jalan menuju hidup yang diberkahi.

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.

Innallāha ma‘aṣ-ṣābirīn.
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang saba

sharing the planet

Belajar “Sharing the Planet” di Sekolah BM 400 Cibubur

Cibubur — Rabu, 26 November 2025, suasana perpustakaan Bakti Mulya 400 School Cibubur tampak berbeda dari biasanya. Rak-rak buku yang tenang menjelma menjadi penanda petualangan baru ketika siswa-siswi Primary Years Programme (PYP) Grade 1 berkumpul menyambut narasumber dari Divers Clean Action (DCA) https://www.diverscleanaction.org/ —komunitas penyelam yang mendedikasikan diri untuk menjaga kebersihan dan keselamatan laut Indonesia.

Kegiatan yang berlangsung pukul 10.00–12.00 WIB ini menjadi bagian penting dari Unit of Inquiry (UOI) bertema “Sharing the Planet”, sebuah pembelajaran yang mengajak siswa memahami hubungan antara manusia, lingkungan, dan tanggung jawab bersama menjaga keseimbangan alam.

Menurut Slamet Suwanto, Koordinator PYP Bakti Mulya 400 Cibubur yang menjadi narasumber pendamping, kegiatan ini dirancang agar pengalaman konkret dapat memperdalam pemahaman siswa. “Anak-anak perlu merasakan langsung cerita dari para pelaku di lapangan. Itu membuat pembelajaran lebih bermakna,” ujarnya.

Cerita Nyata dari Dunia Bawah Laut

Sesi dimulai dengan pemaparan foto dan video hasil penyelaman di berbagai perairan Indonesia. Gambar terumbu karang berwarna-warni, penyu yang berenang tenang, dan ikan-ikan kecil yang melintas di antara bebatuan membuat anak-anak terkagum-kagum.

Namun keindahan itu ditingkahi kenyataan pahit. Narasumber menunjukkan foto penyu yang terlilit jaring, karang yang memutih, hingga sampah rumah tangga yang terdampar di kedalaman laut.

Ini rumah mereka,” katanya sembari memperlihatkan foto seekor penyu yang tubuhnya terimpit limbah plastik. “Kalau kita tidak jaga, mereka tidak bisa bertahan.

Anak-anak yang sebelumnya ramai tiba-tiba hening. Beberapa terlihat menatap foto lama-lama, seakan membandingkan benda-benda itu dengan keseharian mereka. Momen ini menjadi titik awal munculnya empati yang menjadi inti pembelajaran UOI.

Bagaimana Penyelam Membersihkan Laut?

Setelah sesi pengenalan, siswa diajak memahami bagaimana DCA bekerja. Mereka menyaksikan video para penyelam yang mengangkat sampah dari dasar laut menggunakan jaring besar, memilahnya, hingga mencatat data untuk tujuan riset.

Kami bukan hanya menyelam dan mengambil sampah,” jelas narasumber. “Kami mencatat jenis dan jumlahnya untuk mengetahui pola pencemaran.

Anak-anak juga menyaksikan adegan penyelamatan hewan laut—penyu Bali yang berhasil dibebaskan dari lilitan tali nilon serta ikan pari kecil yang terjebak alat pancing. Wajah siswa tampak bergantian antara kaget dan prihatin.

Perpustakaan berubah menjadi ruang belajar yang hidup, tempat anak-anak mengalami secara langsung bagaimana upaya pelestarian laut dilakukan.

Sesi Tanya Jawab yang Membangun Kesadaran

Bagian paling menarik muncul ketika sesi tanya jawab dimulai. Anak-anak mengangkat tangan bersamaan, mengajukan pertanyaan spontan khas usia PYP Grade 1.

Kenapa lautnya bisa kotor?” tanya seorang siswa.
Karena sampah dari darat terbawa air hujan dan sungai hingga ke laut,” jawab penyelam.

Ikan-ikan kalau rumahnya kotor pergi ke mana?
Ada yang pindah, ada yang mati, karena mereka kehilangan tempat tinggal.

Pertanyaan tentang hiu memancing tawa seluruh ruangan. “Apakah penyelam takut hiu?
Hiu tidak berbahaya kalau tidak diganggu. Laut yang rusak justru lebih berbahaya.

Dialog sederhana ini membuat konsep Sharing the Planet menjadi lebih mudah dipahami: manusia, hewan, dan alam saling terhubung. Setiap keputusan membawa pengaruh bagi keseimbangan kehidupan.

Menghubungkan Pembelajaran dengan Aksi Nyata

Usai sesi bersama DCA, guru-guru melanjutkan diskusi di kelas. Anak-anak diajak merenungkan: apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu menjaga laut?

Baca juga : Heroes’ Day & Parents’ Workshop – “My Family is My Hero” di Sekolah BM 400 Cibubur

Jawaban mereka sederhana namun bermakna:

  • membawa botol minum sendiri,
  • mengurangi sampah plastik,
  • membuang sampah pada tempatnya,
  • mengingatkan keluarga agar menjaga lingkungan.

Menurut Slamet Suwanto, membangun kebiasaan kecil seperti itu adalah fondasi penting dalam pendidikan lingkungan sejak dini. “Anak-anak adalah generasi yang akan mewarisi bumi. Tanggung jawab melindungi laut dimulai dari langkah-langkah kecil yang mereka lakukan hari ini,” ujarnya.

Planet ini adalah rumah bersama, dan setiap orang—termasuk anak-anak—punya peran menjaga keberlanjutan hidup di dalamnya.