Siswa SMA BM400 Cibubur Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Siswa SMA BM400 Cibubur: Dari Portofolio Menuju Panggung Dunia

Cibubur – Di sebuah ruang kelas modern di bilangan Cibubur, puluhan siswa Sekolah Bakti Mulya 400 (BM400) tampak khusyuk menatap layar laptop mereka. Namun hari itu bukan sekadar tentang mengerjakan tugas harian. Para siswa sedang membangun sesuatu yang lebih besar, lebih personal, dan lebih bermakna: portofolio digital mereka sendiri.

Menggunakan platform Google Sites, siswa SMA BM400 menyusun situs pribadi yang memuat dokumentasi lengkap perjalanan akademik dan non-akademik mereka. Mulai dari jurnal reflektif, artikel ilmiah, dokumentasi proyek, hingga karya-karya visual dan catatan kegiatan sosial. Semua terangkum dalam sebuah laman digital yang tak hanya rapi secara teknis, tapi juga sarat muatan emosional dan nilai-nilai pembelajaran yang dalam.

“Inilah cara baru kami mendidik anak-anak untuk mengenali dirinya sendiri,” ujar Adi Sayono, salah satu guru pembimbing proyek ini. “Kami tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga bagaimana mereka merangkai cerita, menginterpretasi pengalaman, dan membingkai identitas mereka dalam dunia digital.”

Belajar Merangkum Diri Sendiri

Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, BM400 Cibubur memilih untuk tidak hanya menjadi pengikut tren, melainkan pelaku transformasi. Melalui portofolio digital ini, para siswa tidak semata-mata menunjukkan apa yang sudah mereka capai, tetapi juga bagaimana mereka sampai pada titik tersebut. Portofolio ini menjadi semacam cermin diri digital—tempat siswa bercermin, bertanya, dan menjawab: Siapa saya sebagai pelajar, dan ke mana saya ingin melangkah?

Setiap laman pada portofolio itu disusun secara mandiri oleh siswa, meski dengan bimbingan dari guru. Mereka memilih sendiri narasi yang ingin disampaikan, desain yang merepresentasikan kepribadian, hingga konten-konten yang dianggap paling mencerminkan perkembangan mereka. Hasilnya pun beragam: ada yang tampil elegan minimalis, ada yang penuh warna dan grafis dinamis—semuanya menjadi cerminan otentik dari masing-masing siswa.

Portofolio ini juga menjadi ajang pembuktian kompetensi dalam berbagai dimensi. Di satu sisi, proyek ini melatih keterampilan teknis seperti literasi digital, tata letak visual, dan pengelolaan konten daring. Di sisi lain, ia memperkuat aspek personal seperti kemampuan refleksi, manajemen diri, dan ekspresi diri yang bertanggung jawab.

Dari Cibubur ke Panggung Global

Tak berhenti sebagai alat pembelajaran internal, portofolio digital ini juga dirancang dengan visi ke depan. Khususnya bagi siswa SMA yang bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri, portofolio ini menjadi senjata presentasi diri yang tak ternilai harganya.

Dalam dunia pendidikan global yang semakin kompetitif, nilai rapor dan skor tes bukan lagi satu-satunya alat ukur. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ternama di luar negeri kini banyak menilai personal statement, digital presence, hingga evidence of learning ownership. Di sinilah portofolio digital menunjukkan perannya.

“Portofolio ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya mengikuti sistem, tetapi juga mampu mengartikulasikan identitas dan ambisinya secara autentik dan profesional,” terang Jelita Bestari, Koordinator Bidang Kurikulum. “Ini adalah bentuk kesiapan mereka menjadi warga dunia—yang tahu siapa dirinya dan tahu bagaimana mengomunikasikannya.”

Bagi siswa yang berminat masuk ke program seni rupa, desain, atau teknologi digital, portofolio ini bahkan menjadi syarat utama dalam proses pendaftaran. Sedangkan untuk program studi lain, portofolio tetap menjadi nilai tambah yang signifikan.

Menulis Sejarah Pribadi

Namun lebih dari segalanya, proyek ini mengajarkan siswa tentang pentingnya menulis sejarah pribadi. Di era informasi seperti saat ini, siapa yang mampu mendokumentasikan dan menyampaikan perjalanan hidupnya dengan baik, akan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan diakui.

“Portofolio digital ini adalah arsip hidup. Ia akan terus berkembang seiring dengan perkembangan diri siswa,” kata Iryanto Yosa, Kepala SMA BM400 Cibubur. “Mereka belajar menulis, merefleksi, menilai diri sendiri, dan memperbaiki arah. Ini pelajaran hidup yang tak ternilai.”

Dalam proses pembuatan portofolio ini, tidak sedikit siswa yang terkejut melihat betapa luasnya pengalaman mereka selama sekolah. Kegiatan yang semula dianggap sepele—seperti menjadi MC dalam acara kelas, mengikuti kegiatan sosial, atau menulis opini di majalah sekolah—mendadak terasa penting saat dituangkan dalam narasi digital yang runut.

Baca juga : Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Yang lebih penting, siswa diajak untuk tidak hanya menampilkan sisi gemilang, tapi juga proses jatuh-bangun yang mereka alami. Portofolio ini menjadi ruang jujur, di mana kegagalan dan kebingungan pun bisa menjadi bagian dari cerita yang membentuk kepribadian.

Pendidikan yang Memberdayakan

Langkah BM400 Cibubur ini sejatinya merepresentasikan semangat baru dalam pendidikan: memberdayakan siswa sebagai subjek utama pembelajaran. Dalam sistem konvensional, siswa kerap menjadi objek evaluasi—dinilai, diperingkat, dibandingkan. Tapi lewat proyek portofolio digital, siswa diajak menjadi penulis narasi mereka sendiri.

Dari sudut pandang pendidikan abad ke-21, inisiatif ini juga selaras dengan empat pilar pembelajaran UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Portofolio digital merangkum semuanya—dalam format yang sesuai dengan zaman.

Yudi Latif Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka-2

Yudi Latif: Pendidikan Harus Tanamkan Nilai, Bukan Hanya Memberi Angka

Ajakan untuk kembali ke akar budaya dan etika lingkungan dalam sistem pendidikan

JAKARTA – Pendidikan yang baik tidak cukup hanya mengajarkan ilmu dan keterampilan. Pendidikan harus membentuk manusia secara utuh, dari karakter hingga kesadaran spiritual.

Hal itu disampaikan cendekiawan Prof. Dr. Yudi Latif, MA dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”. yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025) dan dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya.

Ia menegaskan, pendidikan sejati bukan hanya soal skor ujian atau hasil akademik. “Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Bukan hanya pengajaran kognitif,” ujar Yudi.

Menurut Yudi, pendidikan yang baik harus menyatu dengan kebudayaan. Ia mengingatkan bahwa manusia belajar bukan hanya lewat insting seperti binatang, tetapi lewat budaya. “Budaya adalah jembatan yang memaknai hidup,” tegasnya.

Empat Nilai, Satu Akar

Yudi menyebutkan empat nilai dasar yang seharusnya menjadi isi pendidikan: nilai etis (baik dan buruk), nilai logis (benar dan salah), nilai estetis (pantas dan tidak), serta nilai pragmatis (manfaat dan mudarat).

Keempat nilai itu, kata Yudi, diikat oleh akar yang sama: spiritualitas.

“Tanpa spiritualitas, peradaban kita rapuh. Teknologi dan ilmu tak akan membawa manfaat bila nilai-nilai hilang,” ujarnya.

Yudi mengutip pandangan Arnold Toynbee. Dalam peradaban, sains dan teknologi hanyalah lapisan terluar. Di bawahnya ada estetika, kemudian etika, dan di paling dalam ada spiritualitas.

Pendidikan Adalah Pohon

Dalam paparannya, Yudi menggambarkan pendidikan seperti pohon. Akarnya adalah karakter. Batangnya ilmu. Cabangnya keterampilan. Buahnya adalah kreativitas dan inovasi.

Karena itu, pendidikan dasar seperti PAUD dan SD seharusnya fokus pada membentuk karakter. “Anak-anak perlu ditanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan sejak dini,” katanya.

Baru di jenjang berikutnya, mereka diperkenalkan pada ilmu pengetahuan dan keahlian. Yudi mengingatkan agar sistem pendidikan tidak melompat ke hasil tanpa membangun akar yang kuat.

Kritik Terhadap Sistem Nilai Sekolah

Yudi menyoroti sistem penilaian di sekolah yang terlalu bergantung pada angka dan ujian pilihan ganda. Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip deep learning.

“Deep learning itu menekankan proses, bukan sekadar hasil. Skor tidak bisa mengukur nilai estetis, etis, dan spiritual,” tegasnya.

Ia mengajak semua pihak, terutama sekolah, untuk mulai menilai anak-anak secara lebih utuh, tidak hanya dari nilai rapor.

Pelajaran dari Sebatang Pohon

Yudi juga berbagi kisah saat anaknya bersekolah di Australia. Ketika sebuah pohon tua di dekat sekolah harus ditebang, pihak sekolah mengajak siswa menyampaikan “selamat jalan” kepada pohon itu.

“Setiap anak bahkan membawa pulang potongan kecil kayu dari pohon itu sebagai kenangan,” katanya.

Baca juga : Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Menurut Yudi, itu adalah contoh pendidikan lingkungan yang menyentuh hati. Anak-anak tidak hanya belajar tentang pohon secara ilmiah, tapi juga membangun ikatan emosional dan etika dengan alam.

Ajak Pendidikan Kembali ke Akar

Di akhir sesi, Yudi mengajak dunia pendidikan untuk kembali pada akar. Ia menyebutkan tiga hubungan penting dalam Islam: hablum minallah (relasi dengan Tuhan), hablum minannas (dengan manusia), dan hablum minal ‘alam (dengan alam).

“Ketiganya harus ada dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.

Pendidikan, menurutnya, harus menumbuhkan manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijaksana dan peduli lingkungan.

Rocky Gerung Setiap Pohon adalah Sungai

Rocky Gerung: “Setiap Pohon adalah Sungai”

Diskusi Panel Pendidik di BM 400 Cibubur Serukan Revolusi Cara Berpikir Ekologis

Cibubur – Filsuf publik Rocky Gerung menyerukan pentingnya memasukkan etika lingkungan ke dalam kurikulum sekolah sebagai langkah mendesak menjawab krisis ekologis global. Hal ini disampaikan dalam diskusi panel bertajuk “Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah”, yang digelar di Invinity Hall Sekolah Bakti Mulya (BM) 400 Cibubur, Kamis (10/7/2025).

Acara yang dihadiri oleh lebih dari 350 guru dari Jakarta dan sekitarnya ini menjadi ruang intelektual yang membongkar ulang paradigma pendidikan Indonesia. Rocky, dalam paparan filosofisnya yang memukau, menyampaikan bahwa “Setiap pohon adalah sungai” — sebuah lompatan logika ekologis yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik.

“Selama ini kita mengajarkan bahwa sungai mengalir dari gunung ke laut. Tapi kini, mari ajarkan bahwa setiap pohon adalah sungai vertikal. Ia memompa air dari akar ke daun, menghasilkan oksigen lewat fotosintesis. Maka menebang pohon sama saja dengan memotong sungai,” tegas Rocky, disimak antusias para pendidik yang memadati ruangan.

Guru: Pilar Epistemik Bangsa yang Terlupakan

Diskusi juga menyoroti degradasi moral dunia pendidikan saat ini. Rocky menyesalkan adanya jarak antara idealisme founding fathers bangsa dengan praktik pendidikan modern yang terseret arus komersialisasi dan kecurangan akademik.

“Guru bukan hanya profesi. Ia adalah fondasi epistemik bangsa. Bung Karno, Hatta, Buya Hamka, Natsir — semua adalah guru. Tapi sekarang, kita melihat plagiarisme merajalela, dosen memalsukan publikasi, dan sistem pendidikan kehilangan etika,” ujarnya prihatin.

Menurut Rocky, Sekolah Bakti Mulya 400 justru menampilkan harapan baru sebagai lembaga pendidikan yang berani berbicara tentang etika lingkungan, di saat banyak sekolah sibuk mengejar akreditasi dan angka tanpa arah moral yang jelas.

Lingkungan Bukan Tambahan, Tapi Inti Kurikulum

Mengutip SDGs dan diskursus global, Rocky menyebut bahwa “environmental ethics” sudah menjadi grammar baru dalam kurikulum dunia. Namun sayangnya, banyak akademisi dan pejabat pendidikan Indonesia masih gagap dalam isu ini.

“Menteri kita datang ke forum dunia, tapi tidak tahu cara bicara soal etika lingkungan. Padahal ini adalah pengetahuan universal masa depan,” kritiknya.

Ia mengajak seluruh pendidik yang hadir untuk tidak hanya mengajarkan IPA, IPS, atau Bahasa, tapi juga mengintegrasikan logika ekologis dalam setiap pelajaran. “Asap mobil di Thamrin bisa membatalkan panen emak-emak di Gunung Sumbing. Itu yang disebut butterfly effect. Maka mari kita bentuk cara berpikir sistemik dan ekologis pada anak-anak,” tambahnya.

Indonesia Berpotensi Jadi Nauru Kedua

Dalam bagian akhir diskusi, Rocky memberikan peringatan keras tentang potensi Indonesia mengalami kehancuran ekologis seperti negara Nauru — sebuah negara kecil di Pasifik yang sempat kaya karena eksploitasi fosfat, namun kini menjadi salah satu negara termiskin dan rusak total akibat absennya etika ekologis dalam kebijakan negaranya.

Baca juga : Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

“Kalau pemimpin kita hanya bermental dealer, bukan leader, maka masa depan Indonesia bisa gelap. Tanpa paradigma lingkungan, pembangunan hanyalah ilusi,” pungkas Rocky.

BM 400 dan Pendidikan Etis

Bagi Rocky Gerung, hari itu bukan sekadar undangan ceramah. Di panggung Invinity Hall, ia tak sedang menyampaikan diktum filsafat atau mengulang jargon SDGs. Ia tengah menyaksikan percik kecil dari kemungkinan besar: sekolah yang mau dan mampu berbicara dalam grammar lingkungan—bahasa masa depan yang kini justru asing di negeri sendiri.

“BM 400 do speak environmental ethics,” katanya, bukan sebagai pujian basa-basi, melainkan pengakuan jujur terhadap ikhtiar yang langka. Di sekolah ini, ia melihat kurikulum tak lagi sekadar rencana belajar, tapi niat membentuk nalar baru: nalar ekologis. Guru-gurunya berbicara tentang pohon bukan sebagai objek, tapi sebagai sungai yang berdiri; tentang oksigen bukan sekadar rumus, tapi etika kehidupan.

Rocky tahu, dalam sistem pendidikan yang lebih sibuk mengurus akreditasi ketimbang makna, gerakan semacam ini bisa tampak utopis. Tapi ia juga tahu, sejarah perubahan besar sering dimulai dari tempat-tempat yang tak banyak disorot. Maka ketika Bakti Mulya 400 memulai langkahnya, ia menyebutnya sebagai “janji sunyi pendidikan etis”—janji yang tak diucap nyaring, tapi bergerak dalam kurikulum dan cara berpikir.