Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme-1

Town Hall Meeting 2025 BM 400 Soroti Kepemimpinan Transformatif Berbasis Nasionalisme

Jakarta — Di tengah arus deras globalisasi dan disrupsi teknologi yang kian tak terbendung, Yayasan Badan Kerjasama Pendidikan (YBKSP) Bakti Mulya 400 meneguhkan langkah strategisnya dalam menata masa depan pendidikan nasional. Lewat gelaran Town Hall Meeting 2025 yang berlangsung Senin (23/6) di Auditorium SMP Bakti Mulya 400 Jakarta, yayasan ini mengajak ratusan guru dan tenaga kependidikan dari TK hingga SMA untuk kembali pada akar: menjadi pemimpin pembelajaran yang transformatif, berdaya saing global, dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.

Mengangkat tema “Embodying Transformative Leadership Towards Nationalism-Based and Global Standard Education,” forum ini dirancang bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi sebagai momentum konsolidasi visi dan nilai bersama para pendidik di bawah naungan YBKSP Bakti Mulya 400.  Dari pelantikan pimpinan baru hingga sesi diskusi mendalam oleh tokoh-tokoh nasional, perhelatan ini menjadi cermin dari sebuah gerakan intelektual dan moral dalam tubuh institusi pendidikan.

Menjadi Pemimpin Zaman Baru

Dr. H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Ketua Pelaksana Harian YBKSP BM400 dalam sambutannya menyampaikan bahwa, “Guru adalah pemimpin perubahan. Mereka dituntut untuk cakap, berjiwa nasionalis, dan mampu memandu anak-anak kita di tengah turbulensi zaman.”

Sutrisno juga menegaskan visi besar yayasan dalam pengembangan jangka panjang. “Kami menargetkan akan ada 400 sekolah Bakti Mulya di seluruh Indonesia. Karena hanya dengan memperluas keberadaan, sekolah BM dapat berkontribusi lebih besar bagi masa depan bangsa ini,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pembangunan pendidikan tidak cukup hanya dengan mutu, tetapi juga dengan skala. Ekspansi menjadi alat untuk memperluas pengaruh nilai dan kualitas pendidikan Bakti Mulya ke seluruh pelosok negeri.

Dalam sesi pertama bertajuk “Empowering Future Educators: Skills to Lead in 2030 and Beyond,” narasumber Dr. Drg. Muh. Arief Rosyid, M.KM. membedah kompleksitas kompetensi yang harus dimiliki guru masa depan.

“Guru adalah arsitek masa depan bangsa,” tegas Arief. “Ia harus menjadi pemimpin yang transformatif—mampu membaca arah zaman, berani mengambil inisiatif, dan membimbing siswa dengan kasih serta visi.”

Diskusi ini mengulik keterampilan abad ke-21 yang kini tak lagi bersifat opsional, melainkan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik pembelajaran yang relevan dan efektif. Tak heran, topik seperti literasi AI, global awareness, lifelong learning, hingga kemampuan berkolaborasi lintas budaya menjadi sorotan penting.

Membumikan Nasionalisme di Ruang Kelas

Jika sesi pertama membahas kemampuan teknologis dan pedagogis, maka sesi kedua hadir sebagai jantung nilai acara. Dalam diskusi “Strengthening National Values in Teacher Leadership Practices,” Prof. Dr. Laode Masihu Kamaluddin, MSc, M.Eng. mengajak peserta merefleksikan kembali esensi nasionalisme dalam praktik pendidikan.

Menurut Laode, inti dari pembelajaran yang bermakna adalah “trust”—kepercayaan antara guru dan siswa yang menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat masa depan. “Kita sedang menuju super smart society. Tapi tak ada teknologi yang bisa menggantikan makna kepercayaan,” ungkapnya penuh penekanan.

Ia menambahkan, pembelajaran yang baik bukan sekadar tentang konten, tetapi tentang karakter dan kepercayaan yang dibangun secara terus-menerus. “Hari ini adalah cerminan masa depan,” tuturnya. “Apa yang guru tanam hari ini akan mempengaruhi arah bangsa dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.”

Baca juga : Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

Melalui pendekatan naratif dan contoh konkret, Prof. Laode menekankan bahwa guru bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjembatan antara lokalitas dan dunia. Siswa yang mengenal budaya dan sejarah bangsanya akan lebih siap bersaing di ranah global tanpa kehilangan identitas.

Konsolidasi Lintas Unit dan Arah Strategis Yayasan

Town Hall Meeting 2025 juga menjadi panggung konsolidasi internal yayasan. Dalam sesi pelantikan, para pimpinan unit baru dari TK, SD, SMP, dan SMA Bakti Mulya 400 resmi dikukuhkan. Momentum ini menjadi penanda regenerasi kepemimpinan dalam semangat kolaborasi dan keberlanjutan.

Kegiatan ini tak hanya berbicara soal gagasan besar dan arah strategis, selain itu juga memberi ruang bagi ekspresi seni dan hiburan sebagai bagian dari keseimbangan dalam dunia pendidikan. Penampilan seni dari para guru menutup sesi makan siang dengan semarak.

Dengan spirit transformatif yang mengakar pada nasionalisme dan menyentuh standar global, Town Hall Meeting 2025 adalah manifestasi dari komitmen kolektif untuk membangun Indonesia dari ruang kelas—dengan hati, nalar, dan nilai.

Prof Laode Kamaluddin Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar-1

Prof. Laode Kamaluddin: Nilai Bangsa dan Kepemimpinan Pendidikan yang Berakar

JAKARTA — Dalam auditorium Sekolah Bakti Mulya 400 yang dipenuhi para pendidik sekolah tersebut, Senin 23 Juni 2024, sebuah wacana penting tentang arah pendidikan bangsa mengemuka. Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), membuka cakrawala berpikir para pendidik melalui satu gagasan utama: membangun kepemimpinan guru dengan fondasi nilai-nilai nasional, kepercayaan, dan pemahaman akan transformasi zaman.

Karakter, Tradisi, dan Etika: Pilar Nilai Bangsa

Laode memulai dengan mengajak para guru dan kepala sekolah kembali ke akar. Ia menegaskan bahwa national value—nilai-nilai bangsa Indonesia—adalah fondasi utama dalam merancang arah pendidikan masa depan. Tiga pilar utama yang ia sorot adalah karakter, tradisi, dan etika.

Karakter, menurutnya, adalah kekuatan moral yang membentuk integritas guru dan peserta didik. Tradisi adalah jembatan peradaban yang menghubungkan warisan leluhur dengan tantangan kekinian. Sedangkan etika, adalah bingkai perilaku dalam masyarakat yang terus bergerak.

“Karakter itu bukan ajaran tambahan. Itu inti dari pendidikan,” katanya tegas. Tradisi dan etika, lanjutnya, bukan penghambat inovasi, tapi pemandu agar perubahan tidak kehilangan arah.

Ia mengingatkan bahwa pendidikan Indonesia memiliki tujuh sumber nilai utama: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, penghormatan terhadap budaya dan tradisi lokal, keadilan, kemanusiaan, serta toleransi dan kerukunan. “Nilai-nilai inilah yang menjadikan pendidikan kita memiliki ruh kebangsaan,” ucapnya.

Kepemimpinan Guru dan Filosofi Kepercayaan

Di bagian tengah paparannya, Laode menyoroti pentingnya teacher leadership. Tapi ia menyodorkan definisi yang tidak biasa. “Kepemimpinan guru adalah seni memengaruhi tanpa membuat orang merasa dipengaruhi,” ungkapnya.

Bagi Laode, inti dari kepemimpinan guru adalah trust—kepercayaan. Tanpa itu, komunikasi akan rapuh, informasi tak lagi bermakna, dan kepemimpinan kehilangan daya geraknya. Dalam struktur sekolah, trust membentuk ekosistem: antara guru dan murid, antar sesama guru, serta antara guru dengan orang tua dan masyarakat.

Ia menyebut model High Performance Leadership dalam pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar: kualitas komunikasi, kualitas informasi, dan kualitas kepemimpinan. “Ketiganya saling memperkuat dalam atmosfer kepercayaan,” katanya. “Kalau tidak ada trust, tak akan ada transformasi.”

Dari Filsafat Analog ke Filsafat Digital

Sesi menjadi lebih reflektif ketika Laode membahas perubahan mendasar dalam cara berpikir generasi hari ini. Ia menyebut bahwa pendidikan tidak hanya bergeser dalam metode, tapi juga dalam kerangka epistemologis: dari filsafat analog ke filsafat digital.

“Generasi analog berpikir kontinu—bertahap, linear, terstruktur. Sedangkan generasi digital bersifat diskontinu—cepat, acak, dan multitasking,” jelasnya.

Perubahan ini membawa tantangan besar bagi dunia pendidikan. Guru tidak cukup hanya memahami kurikulum. Mereka harus memahami cara berpikir baru, dunia baru, dan cara belajar yang sangat berbeda dari masa lalu. “Jika kita masih mengajar dengan filosofi analog di hadapan anak-anak digital, kita sedang menanam benih yang tak akan tumbuh.”

Di sinilah nilai-nilai bangsa menjadi jangkar. Tradisi dan karakter menjadi penyeimbang dari kecepatan digitalisasi. Etika menjadi pelindung agar teknologi tidak menjadi senjata yang menusuk keadaban.

Pendidikan dan Teknologi: Kecanggihan yang Bernurani

Laode tidak menolak kemajuan. Sebaliknya, ia menyambutnya dengan konsep yang ia rumuskan sendiri: ABC + BEM—Artificial Intelligence, Big Data, Connectivity ditambah Blockchain, Ethics, dan Moral values. “Teknologi membentuk masa depan, tapi manusialah yang menentukan arahnya,” tegasnya, mengutip pandangannya sejak 2020.

Baca juga : Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Ia menyoroti bahwa pendidikan ke depan harus menjangkau wilayah yang selama ini tidak tersentuh: daerah 3T, kelompok marginal, dan anak-anak yang belum terlibat dalam ekosistem digital. “Reaching the Unreachable,” katanya, adalah misi mulia yang seharusnya menjadi prioritas bangsa.

Penutup: Merancang Masa Depan yang Bernilai

Saat sesi ditutup, suasana auditorium menjadi hening. Para pendidik yang hadir tak hanya diajak berpikir, tapi juga diajak merasa—merasakan pentingnya peran mereka dalam mendidik bangsa di tengah pergeseran besar dunia.

“Jangan jadikan hari ini sebagai cermin masa lalu,” Laode mengingatkan. “Jadikan ia sebagai cermin masa depan. Karena dari tangan-tangan guru hari ini, nasib masa depan bangsa akan ditentukan.”

Arief Rosyid Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa-2

Arief Rosyid: Guru Sebagai Arsitek Masa Depan Bangsa

Jakarta, 23 Juni 2025 — Dalam lanskap dunia yang terus berubah, satu hal tetap menjadi fondasi utama kemajuan peradaban: pendidikan. Dan di jantung pendidikan, berdiri sosok guru—bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin transformasi.

Itulah pesan kuat yang digaungkan Dr. drg. M. Arief Rosyid Hasan dalam Town Hall Meeting bertajuk “Pengajar di Masa Depan: Kepemimpinan, Artificial Intelligence, dan Nasionalisme”, yang digelar di Auditorium Bakti Mulya 400 Jakarta yang diikuti guru dan pimpinan Sekolah Bakti Mulya 400 Jakarta dan Cibubur.

Dengan gaya tutur tenang namun menggedor kesadaran, Arief mengajak para pendidik menatap masa depan dengan satu visi: menjadikan guru sebagai arsitek masa depan bangsa. “Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pemimpin perubahan. Mereka menanam benih masa depan di kelas, hari ini,” ujar Arief membuka paparannya.

Menjadi Pemimpin Transformatif

Dalam pemaparannya, Arief menekankan pentingnya guru mengadopsi kepemimpinan transformatif—yakni tipe pemimpin yang bukan hanya memimpin dari depan, tetapi hadir sebagai inspirasi, pemberi makna, motivator, sekaligus penyokong. “Guru masa depan harus mampu menyentuh sisi terdalam anak-anak: harapan, emosi, dan keberanian untuk bermimpi,” ujarnya.

Kepemimpinan transformatif menuntut guru untuk memimpin dengan visi, memberi keteladanan, membangun relasi personal, dan menyemangati murid bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta. “Ketika guru hadir bukan sekadar mengajar, melainkan mendampingi dan mendorong anak-anak melampaui batas dirinya, saat itulah kepemimpinan sejati lahir di kelas,” ucap Arief.

Transformasi bukanlah proyek sesaat, melainkan proses panjang yang menuntut konsistensi karakter dan ketekunan hati. Guru yang transformatif tidak hanya menjelaskan materi, tetapi memekarkan potensi. Tidak hanya memberi tahu, tetapi menggerakkan.

Tak hanya menyoroti peran individu guru, Arief juga menegaskan pentingnya menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar—yakni institusi yang tak henti belajar, beradaptasi, dan memperbarui diri.

Mengajar dengan Jiwa, Mendidik dengan Visi

Arief menggambarkan masa depan guru sebagai “pembelajar seumur hidup yang membentuk pembelajar seumur hidup.” Dalam paparan strategisnya, ia menekankan perlunya kombinasi antara kecerdasan digital dan ketajaman nilai.

Arief memetakan setidaknya enam keterampilan utama yang harus dimiliki pengajar masa depan:

  1. Transformational Thinking
    Kemampuan melihat pembelajaran sebagai proses perubahan, bukan sekadar transfer pengetahuan.
  2. Emotional Intelligence & Empathy
    Guru harus menjadi manusia utuh yang memahami dimensi emosional siswa di era yang penuh tekanan mental.
  3. Digital Pedagogy
    Penguasaan teknologi bukan opsional, melainkan prasyarat untuk relevansi.
  4. Global Competence with National Soul
    Memiliki wawasan dunia tanpa kehilangan identitas keindonesiaan.
  5. Leadership & Coaching Skill
    Guru adalah coach yang memampukan, bukan pelatih yang mengatur-atur.
  6. Interdisciplinary Mindset
    Dunia nyata tidak mengenal sekat mata pelajaran; guru masa depan harus berpikir lintas bidang.

Arief memuji praktik baik yang dilakukan komunitas seperti 1000 Guru, yang menjadi bukti bahwa semangat transformasi pendidikan bisa lahir dari mana saja—dari pegunungan Papua hingga sudut-sudut kota. Ia juga mengangkat contoh dosen dan guru muda yang aktif di media sosial, menjembatani ilmu dan masyarakat melalui format Instagram, TikTok edukatif, dan webinar.

Bonus Demografi dan Peran Strategis Guru

Di penghujung paparannya, Arief mengingatkan satu realitas penting: bonus demografi Indonesia yang akan mencapai puncaknya dalam dua dekade ke depan. “Kita sedang berada di tengah jendela peluang sejarah,” katanya. “Jika kita menyiapkan generasi muda dengan baik, bangsa ini akan melesat. Jika tidak, ia bisa menjadi beban sosial yang meledak.”

Baca juga : Yudi Latif di Forum Headmaster Academy Indonesia: Pendidikan adalah Proses Menjadi Manusia Seutuhnya

Dalam konteks ini, guru bukan hanya pencetak nilai ujian, melainkan penentu arah sejarah. Mereka yang hari ini membimbing murid membaca dan berpikir kritis, sejatinya sedang mempersiapkan pemimpin masa depan negeri.

“Guru adalah arsitek tak bernama dalam naskah besar bangsa. Tak tampak di panggung sejarah, tetapi fondasinya ditopang oleh tangan mereka,” ucap Arief, dengan mata menyapu seluruh guru yang menyimak.