Pemimpin Masa Depan dan Jalan Terjal Disrupsi

Pemimpin Masa Depan dan Jalan Terjal Disrupsi

Orasi Kebangsaan Gubernur Lemhannas RI di Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, 24 Mei 2025

Cibubur — Sabtu pagi itu, 24 Mei 2025, Infinity Hall Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur berubah menjadi ruang kontemplasi nasional. Di tengah suasana peresmian sekolah yang riang, Gubernur Lemhannas RI, Dr. H. TB. Ace Hasan Syadzily, M.Si., membawakan stadium general yang sarat muatan geopolitik, pendidikan karakter, dan filosofi kepemimpinan masa depan.

Dengan tema “Kepemimpinan Masa Depan”, kuliah umum Ace Hasan menyajikan panorama global dan nasional yang sedang berubah cepat. Tidak sekadar memotret tantangan, ia juga mengusulkan arah baru dalam membangun pemimpin berkarakter Indonesia di tengah era disrupsi.

Tantangan Geopolitik dan Disrupsi Global

Ace Hasan membuka paparannya dengan menyuguhkan lanskap dunia yang tengah bergolak. Di tingkat global, terjadi percepatan perubahan akibat Revolusi Industri 4.0 dan 5.0, serta meningkatnya ancaman keamanan non-tradisional seperti serangan siber dan hybrid warfare.

“Kita hidup di era penuh ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas,” ujarnya. “Pemimpin masa depan harus memahami dinamika ini agar tidak gagap dalam mengambil keputusan strategis.”

Selain itu, isu perubahan iklim, persaingan ekonomi antarnegara, serta instabilitas kawasan Asia Tenggara menjadi tantangan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks nasional. Bagi Ace, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam panggung geopolitik dunia.

Krisis Nilai, Bonus Demografi, dan Ancaman Ketimpangan

Menariknya, Ace tidak berhenti pada isu eksternal. Ia mengajak audiens untuk melihat kondisi domestik: menurunnya nilai-nilai kebangsaan, ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, dan proses digitalisasi yang belum merata.

“Bonus demografi adalah peluang, tapi bisa jadi bencana jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas SDM,” ucapnya.

Ace menekankan pentingnya pendidikan karakter, bukan hanya dari sisi kurikulum, tapi juga keteladanan, konsistensi nilai, dan lingkungan yang mendukung pembentukan kepribadian bangsa. Dalam konteks ini, peran sekolah menjadi sangat vital.

Membangun Future Leadership

Pokok utama orasi Ace adalah tentang konsep Future Leadership, kepemimpinan masa depan yang visioner, adaptif, dan inovatif. Ia merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh dunia seperti Rosabeth Moss Kanter, Michael Useem, dan Linda A. Hill, yang menekankan pentingnya kemampuan pemimpin untuk memimpin dalam kondisi yang terus berubah.

“Future leadership itu bukan soal jabatan, tapi soal kapasitas untuk mengelola ketidakpastian dan menciptakan peluang dari kekacauan,” kata Ace.

Namun, ia menambahkan satu unsur penting yang kerap luput dalam diskursus global: nilai-nilai kebangsaan. “Kepemimpinan Indonesia harus dibangun di atas empat konsensus dasar bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.”

Dengan demikian, kepemimpinan yang dibayangkan Ace adalah kepemimpinan yang global dalam cara berpikir, tapi nasionalis dalam akar dan orientasi moralnya.

Sembilan Ciri Pemimpin Masa Depan

Dalam paparannya, Ace mengutip Jacob Morgan yang merumuskan sembilan karakter pemimpin masa depan: Global Citizen, Servant, Chef (peracik keberagaman), Explorer, Coach, Futurist, Technology Teenager, Translator dan Yoda (bijak dan reflektif)

Namun, Ace memberikan penekanan khusus bahwa di Indonesia, kesembilan karakter ini harus dibingkai dalam nilai-nilai luhur bangsa. “Teknologi tanpa karakter hanya akan menghasilkan kekacauan,” ujarnya.

Pemimpin Indonesia masa depan, menurut Ace, tidak bisa hanya mengandalkan kompetensi digital atau manajerial. Ia harus menjadi “pemimpin berkarakter yang berpikir geopolitik dan bertindak strategik.”

Sekolah sebagai Inkubator Kepemimpinan

Di sinilah, kata Ace, sekolah memiliki peran sentral. Ia menyebut Sekolah Bakti Mulya 400 sebagai contoh lembaga pendidikan yang memiliki potensi menjadi inkubator pemimpin masa depan.

“Bukan hanya mencetak siswa yang pandai, tapi membentuk pribadi yang berintegritas, peduli, dan siap mengabdi pada bangsa,” ujarnya disambut tepuk tangan para guru dan orang tua.

Baca juga : Abdul Mu’ti: Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dan Optimisme Menuju Indonesia Emas

Ace juga mengingatkan bahwa tantangan pendidikan hari ini bukan hanya kurikulum, tapi juga penetrasi nilai-nilai asing lewat media digital yang tanpa filter. Maka, pendidikan karakter harus menjadi benteng moral, bukan sekadar pelengkap.

Kolaborasi, Inklusivitas, dan Keteladanan

Ace Hasan juga menyoroti pentingnya kepemimpinan kolaboratif dan inklusif. Di tengah era disrupsi, pemimpin tidak bisa lagi berjalan sendiri. “Mereka harus mampu bekerja lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas generasi.”

Ia juga mengingatkan pentingnya peran keteladanan, khususnya dari para guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat. “Kita tidak bisa membentuk pemimpin masa depan tanpa memberi contoh di hari ini.”

Kesimpulan: Kepemimpinan Berkarakter, Jalan Indonesia ke Depan

Kuliah umum Ace Hasan Syadzily di Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur bukan sekadar orasi seremonial. Ia menawarkan kerangka pikir yang tajam dan menyentuh inti persoalan: bahwa Indonesia hanya bisa menghadapi era disrupsi jika mampu membentuk generasi pemimpin yang tidak sekadar cerdas, tapi berkarakter dan berakar kuat pada nilai-nilai bangsa.

Future leadership, bagi Ace, adalah gabungan antara inovasi dan ideologi, antara adaptasi terhadap dunia dan komitmen terhadap Indonesia.

Di penghujung pidatonya, Ace mengajak semua pihak—sekolah, pemerintah, keluarga, dan masyarakat—untuk berkolaborasi membangun kepemimpinan masa depan yang berpijak pada empat pilar konsensus kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika).

“Kita tidak sedang membangun generasi untuk hari ini. Kita sedang menyiapkan masa depan Indonesia,” pungkasnya.

abdul muti cibubur bm400-3

Abdul Mu’ti: Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur dan Optimisme Menuju Indonesia Emas

Cibubur — Langit Cibubur cerah pagi itu, Sabtu, 24 Mei 2025, ketika 1000 tamu undangan mulai memadati Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, sekolah yang diresmikan hari itu. Gedung berwarna coklat earth tone itu tampak kokoh sekaligus anggun, dengan detail arsitektur modern minimalis yang memancarkan kesan serius dan bersahabat. Dalam suasana meriah namun khidmat, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., hadir memberikan sambutan yang sarat makna—lebih dari sekadar formalitas seremonial.

Dengan gaya pidato yang renyah, bernas, dan sesekali diselingi guyonan khas, Prof. Mu’ti membuka orasinya dengan pujian tulus: “Bangunan sekolah yang sangat megah dan mewah ini dibangun tanpa serupiah pun dari bantuan pemerintah.” Tak sekadar basa-basi, ucapan itu disambut tepuk tangan hadirin, menandai pengakuan terhadap kontribusi konkret masyarakat dalam membangun pendidikan nasional.

Ia lalu menyampaikan harapan yang setengah bercanda namun tak kurang serius, “Kalau namanya Bakti Mulya 400, maka mohon dibangun sekolah seperti ini sebanyak 400. Kalau jumlahnya sudah 400, harapan kita untuk Indonesia Emas 2045 saya yakin akan terwujud lebih cepat dari waktunya.”

Di hadapan para tokoh pendidikan, pendiri yayasan, dan undangan kehormatan, Mu’ti tak hanya menyampaikan pujian, tetapi juga menegaskan posisi pendidikan swasta sebagai mitra strategis pemerintah. “Tidak ada lagi wacana dalam diri kami untuk menempatkan negeri dan swasta dalam posisi yang berkompetisi. Semuanya adalah mitra,” tegasnya. Di bawah kepemimpinannya, Kementerian mengusung tema “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” pada peringatan Hardiknas 2025, sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip inklusi dan kolaborasi.

Pidato Mu’ti hari itu tak sekadar administratif. Ia menyelami sejarah dan sosiologi—mengingat kembali tulisan Aswab Mahasin di majalah Prisma tentang “Muslim Middle Class” yang muncul pada dekade 1980-an. Kelompok muslim kelas menengah yang tak hanya semakin sejahtera secara ekonomi, tetapi juga semakin sadar akan tanggung jawab sosial dan keagamaan mereka. Dari situlah Mu’ti memperkenalkan istilah “MUKIDI”: Muda, Kaya, Intelek, Dermawan, dan Idealis.

Karakter “Mukidi” ini, menurutnya, sangat tergambar dalam semangat dan latar belakang pendiri serta pengelola Sekolah Bakti Mulya 400. “Mereka ini wealthy people, tetapi juga dermawan. Mereka membantu sesama, bahkan yang tak dikenal, dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. Dan mereka tetap idealis, dengan latar belakang intelektual yang kuat,” ujarnya. Bagi Mu’ti, inilah potret kelompok masyarakat yang dapat menjadi motor perubahan: kelas menengah muslim yang tak hanya menanjak secara finansial, tapi juga spiritual dan sosial.

Dalam satu segmen pidatonya, ia membandingkan sekolah Bakti Mulya sebelumnya dengan yang baru ini. “This is a very excellent school,” katanya, mengenang masa lalu ketika masih menjadi Ketua Badan Akreditasi. “Dan ternyata yang excellent di sana, di sini lebih excellent lagi. Kalau di sana excellent, di sini excellentist,” guraunya yang disambut tawa hadirin.

Namun, nada kembali serius ketika ia menyampaikan pokok-pokok visi pendidikan nasional: pendidikan sebagai proses memuliakan manusia. Ia mengutip Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70, yang menyebut bahwa Allah telah memuliakan anak-anak Adam. “Kalau Allah memuliakan manusia, maka pendidikan sebagai proses tarbiyah harus menjadi proses yang memuliakan,” katanya dengan lantang. Baginya, pendidikan yang sejati bukan sekadar soal mengejar nilai atau prestasi, melainkan bagaimana menjadikan setiap murid dihargai, dituntun, dan tumbuh sesuai fitrahnya.

Baca juga : Sekolah BM 400 Cibubur Ikut “Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”

Ia menekankan bahwa arah baru pendidikan nasional adalah pendidikan yang memuliakan, mendalam (deep learning), dan membahagiakan. “Pendidikan harus membuat semua orang merasa seperti di rumah. Di sekolah, mereka harus merasa seperti berada di antara ayah dan bunda yang penuh kasih,” katanya, menutup gagasan yang sangat manusiawi.

Menjelang akhir pidato, Mu’ti menyampaikan permohonan maaf karena tak bisa mengikuti acara hingga selesai. Ia harus mewakili Wakil Presiden pada agenda lain di Taman Mini. Namun, dengan gaya khasnya, ia menegaskan, “Walaupun sudah pulang, spirit saya tetap berada di sini.”

Sambutan Mu’ti hari itu bukan hanya memberi semangat bagi pengelola Sekolah Bakti Mulya 400 Cibubur, tetapi juga menjadi narasi besar bahwa pendidikan Indonesia bisa bergerak maju lewat gotong royong. Sekolah swasta, dengan semangat dan kontribusi nyata, adalah bagian penting dari mimpi Indonesia Emas 2045. Maka tak berlebihan jika pagi itu, di bawah langit Cibubur, terasa ada seberkas harapan baru yang tumbuh—khususnya untuk Sekolah Bakti Mulya 400 juga untuk masa depan bangsa.