#FridayInsightBM400
Sabar Sebagai Pilar Ketangguhan
Resonansi dari Friday Insight Dr.H. Sutrisno Muslimin, M.Si., Jumat, 28/11/25
Ada satu kata yang sering kita ucapkan, tetapi jarang benar-benar kita menghayatinya: sabar. Ia terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya adalah mahkota dari seluruh kualitas batin manusia. Dalam sebuah renungan yang jujur dan lugas, kita diingatkan bahwa sabar bukan sekadar kemampuan menunggu, melainkan kemampuan menahan, menjaga, dan tetap teguh pada kebaikan saat keadaan justru mendorong kita untuk runtuh.
Sabar adalah Kendali Terbesar Seorang Manusia
Sabar pertama-tama adalah kemampuan menahan diri dari suara hati yang gelap—prasangka buruk, dendam, dan kebencian. Sebab sebelum lisan mengucapkan kata, sebelum tangan melakukan tindakan, semua dimulai dari apa yang bergetar dalam hati.
Kata Imam Al-Ghazali, hati itu ibarat cermin. Bila ia bersih, ia memantulkan benar dan salah dengan jernih. Ia menjadi kompas moral. Tetapi bila ia buram, maka manusia kehilangan kendali atas dirinya. Dan kehilangan kendali adalah awal dari semua kerusakan.
Karena itu, sabar bukan kelemahan. Ia justru kekuatan tertinggi, karena ia mengajarkan kita untuk tetap menjadi manusia meski dunia membentur kita dengan keras.
Tiga Pilar Sabar: Ketaatan, Menjauhi Maksiat, dan Menerima Takdir
- Sabar dalam Ketaatan
Menjaga shalat Isya (dengan qoblihah dan ba’diah) tanpa tergesa, bangun shalat tahajud dan witir di malam yang gelap, dingin dan lelah—semua itu adalah latihan jiwa. Ketaatan bukan selalu mudah, tetapi justru kesabaran di dalamnya yang membuatnya bernilai. - Sabar dalam Menjauhi Maksiat
Di tengah dunia yang penuh kebisingan, ketidakadilan, dan berita-berita luka, kita diuji. Melihat kemungkaran harus membangunkan minimal getaran protes dalam hati. Kalau kita punya kekuasaan, kita menolong. Kalau tidak punya, kita berdoa. Yang penting: hati jangan mati. - Sabar terhadap Takdir
Hidup sesungguhnya hanyalah perpindahan dari satu takdir ke takdir lainnya. Kita tidak selalu memilih jalannya, tetapi kita selalu memilih sikap kita.
Saat sakit datang, saat jalan hidup berbelok tanpa rencana, saat orang datang dan pergi—semua itu takdir. Tetapi sebelum takdir final ditetapkan, manusia diberi ruang untuk mengusahakan perubahan. Dan di situlah sabar menemukan maknanya.
Sabar Adalah Penjaga Karakter
Sabar merupakan pagar terakhir yang menjaga karakter. Tanpanya, manusia mudah terseret dalam amarah, kesombongan, dan keputusan-keputusan yang disesali seumur hidup.
Ketika engkau kehilangan uang, engkau kehilangan sedikit.
Ketika engkau kehilangan kesehatan, engkau kehilangan banyak.
Tetapi ketika engkau kehilangan karakter, engkau kehilangan segalanya.
Cara Mengumpulkan Sabar
- Perbanyak zikir dan istighfar, karena hati yang basah oleh zikir lebih mudah dijaga.
- Ingat besarnya pahala bagi orang sabar, pahala tanpa batas.
- Lihatlah ujian orang lain yang lebih berat, agar kita tidak mudah mengeluh.
- Sadar bahwa setiap urusan terjadi dengan izin Allah, sehingga hati tidak memberontak terhadap realitas.
- Kuatkan iman dan tawakal.
- Latih diri dari hal-hal kecil, karena kesabaran besar tumbuh dari kesabaran kecil.
Ciri Orang Sabar
- Tenang menghadapi masalah besar.
- Tidak tergesa membuat keputusan.
- Tetap berbuat baik meski diperlakukan tidak baik.
- Tidak mengeluh berlebihan.
- Konsisten dalam kebaikan.
- Menerima takdir sambil terus berusaha.
Dan yang terpenting: ia tidak menyimpan dendam. Sebab dendam adalah racun pelan yang mempercepat kematian jiwa.
Batas Sabar
Sabar bukanlah pasrah buta yang membiarkan apa pun terjadi tanpa sikap. Sabar adalah kekuatan batin yang terarah—ia tahu kapan harus menahan diri, tetapi juga tahu kapan harus berdiri tegak. Karena itu, ada batas-batas yang tidak boleh kita sabari.
Pertama, tidak boleh sabar ketika melihat maksiat. Ketika kemungkaran terjadi di depan mata, diam berarti membiarkan keburukan tumbuh tanpa kendali. Sabar di sini bukan pilihan; yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengingatkan dan mencegah.
Kedua, tidak boleh sabar terhadap kezaliman. Entah kita yang dizalimi atau orang lain yang menjadi korban, kita memiliki kewajiban moral untuk melawan. Kezaliman tidak akan berhenti hanya karena kita bertahan; ia berhenti ketika seseorang berani berkata cukup.
Ketiga, tidak boleh sabar dalam hal yang menyebabkan hilangnya hak. Jika kesabaran membuat kita merelakan hak yang seharusnya kita miliki—kehormatan, keadilan, atau kesempatan—maka itu bukan lagi kesabaran, melainkan pengabaian terhadap diri sendiri.
Keempat, sabar tidak berarti boleh menyakiti diri sendiri. Kesabaran yang membuat kita tertekan, memendam luka, atau menanggung beban yang tak sehat bukanlah sikap mulia. Itu hanyalah bentuk ketidakberanian untuk berkata bahwa sesuatu perlu diubah.
Pada akhirnya, sabar bukan berarti lemah. Justru sebaliknya, sabar berarti kuat pada waktunya dan tegas pada tempatnya. Sabar adalah keseimbanganantara ketenangan jiwa dan keberanian bertindak—karena tidak semua hal layak ditahan, dan tidak semua hal boleh dilepaskan begitu saja.
Penutup: Sabar, Jalan Setiap Manusia Hebat
Sabar bukan hanya untuk orang tua, bukan hanya untuk ustaz atau guru, bukan hanya untuk mereka yang sedang diuji berat. Sabar adalah napas panjang yang harus dipelajari setiap manusia yang ingin hidupnya bermakna.
Karena hidup bukan dimulai dari usia 20, 30, atau 40. Hidup dimulai setiap kali kita memilih untuk tetap teguh, tetap waras, dan tetap berpegang pada kebaikan—meski dunia seolah mendorong kita untuk menyerah.
Sabar adalah cermin hati.
Dan hati yang jernih adalah jalan menuju hidup yang diberkahi.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.
Innallāha ma‘aṣ-ṣābirīn.
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang saba